PART 8 - 1

99.6K 2.9K 92
                                    

PART 8

Felicia terpaku menatap faktur pembelian di atas meja di toko orangtuanya. Putus asa mengingat di laci meja kasir hanya ada uang tidak lebih dari sepuluh juta rupiah. Itu artinya ia masih harus mencari tiga puluh jutaan lagi untuk melunasi faktur yang sudah jatuh tempo ini.

Ke mana ia harus mendapatkan uang sebanyak itu? Belum lagi uang sewa ruko yang harus segera ia siapkan. Padahal Felicia sempat berpikir untuk menggunakan uang penjualan beberapa hari ini untuk membayarnya.

Felicia menipiskan bibir, kesal. Devon benar-benar keterlaluan. Adiknya itu menggunakan uang penjualan seenaknya tanpa memikirkan konsekuensinya. Mulai hari ini Felicia harus mengelola sendiri toko orangtuanya, atau sebentar lagi toko ini bangkrut dengan utang keliling pinggang.

Pikiran Felicia melayang pada Marco. Akankah suaminya itu mengizinkannya tetap mengelola toko ini?—yang artinya sepanjang hari Felicia akan menghabiskan waktu di sini.

Ponselnya yang tiba-tiba berdering membuyarkan lamunan Felicia.

"Halo?" sapa Felicia setelah menyentuh tanda terima panggilan.

"Kau berada di mana?"

Ini kali pertama Felicia mendengar suara Marco lewat ponsel. Suara suaminya itu dalam dan maskulin, mengantar desir-desir sensual ke seluruh tubuh.

Felicia menggeleng untuk membuyarkan pikirannya yang mulai melantur.

"Ada apa?" tanya Felicia balik bertanya tanpa menjawab.

"Kau sedang berada di mana?" tanyanya sekali lagi dengan nada tidak sabar.

"Aku... aku di rumah orangtuaku," jawab Felicia gugup. Di dalam hati berharap Marco tidak memintanya pulang saat ini karena ia masih harus menjaga toko.

"Ada apa setiap hari ke rumah orangtuamu?"

Kembali terdengar suara Marco yang dingin dan datar. Felicia terdiam dengan dada berdebar. Apa ini artinya Marco tidak suka ia pulang ke rumah orangtuanya setiap hari?

"Aku... hanya menjenguk orangtuaku...," jawab Felicia pelan sambil berdoa di dalam hati semoga Marco tidak banyak bertanya lagi.

"Ya sudah. Kalau begitu, temui aku sekarang." Marco menyebut nama pusat perbelanjaan tempat ia berada.

"Untuk apa?" tanya Felicia bingung.

"Makan siang."

Felicia terdiam. Belum sempat ia bersuara, hubungan telepon terputus.

Felicia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Dilema dengan apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia menutup toko? Felicia tentu saja tidak bisa memercayai Devon lagi.

Belum sempat ia mengambil keputusan, beberapa orang masuk untuk berbelanja.

Dan Felicia larut melayani pembeli yang tiba-tiba saja datang silih berganti tanpa henti, membuat ia tidak merasakan lapar, bahkan melupakan Marco yang sedang menunggunya.

Ia baru teringat dengan janjinya pada Marco saat tubuh gagah itu sudah berdiri di depan matanya. Dada Felicia berdebar tidak nyaman. Melihat raut wajah Marco yang sangat dingin, bisa dipastikan, suaminya itu sedang marah besar.

"Marc...."

"Aku menunggumu hampir dua jam," kata Marco dengan nada dingin.

"Aku—aku—"

"Kalau memang tidak mau makan siang denganku, seharusnya kau mengatakannya," imbuh Marco dengan nada tajam.

Wajah Felicia memucat, sangat sadar akan kesalahannya. Tapi itu bukan disengaja. Ia benar-benar lupa.

"Marc..., aku...."

Belum sempat Felicia menyelesaikan kalimatnya, seorang anak muda masuk. Dada Felicia kian berdebar tak menentu. Anak muda itu adalah sales yang tagihannya jatuh tempo hari ini.

"Halo, Kak Felicia..., apa kabar?"

Sales yang bernama Doni itu langsung duduk di kursi kosong di samping meja kasir Felicia tanpa memedulikan kehadiran Marco di sana.

"Kak, mau order apa lagi? Kami ada produk baru," kata Doni sambil mengeluarkan beberapa jenis contoh alat tulis dan meletakkannya di atas meja kasir.

Felicia terdiam. Marco menatapnya tanpa berkedip, membuat Felicia salah tingkah.

"Empat puluh dua juta tagihannya, Kak," kata Doni lagi sambil menyerahkan beberapa lembar nota berwarna putih pada Felicia.

Seluruh tubuh Felicia terasa dingin dan kaku.

Bukan Istri Bayaran [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang