8. Luna's Cry

1.2K 105 0
                                    

Luna mencuci gelas yang tadi dipakai untuk minum susu oleh Indira di wastafel. Setelah itu ia meletakkan gelas yang sudah di cucinya ke dalam rak piring. Kemudian ia duduk di kursi makan yang terletak bersebelahan dengan dapur.

Perasaan Luna benar-benar sangat sedih. Ia memikirkan kata-kata yang tadi diucapkan oleh putri tirinya. Bagaimana mungkin orang-orang berbicara seperti itu pada Indira? Indira masih sangat kecil dan mereka berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Jahat sekali. Pantas saja tubuh Indira begitu kurus. Sudah pasti Indira sangat terpengaruh dengan ucapan orang-orang itu padanya.

Air mata gadis itu perlahan meleleh di pipinya. Saat ia mengingat bagaimana ekspresi sedih Indira, air mata seketika mengalir deras di wajahnya. Ia tahu bagaimana rasa sakit karena kehilangan orang tua, dan Indira sudah mengalaminya di usianya yang masih sangat muda. Ia bahkan harus menerima ucapan-ucapan tidak enak dari orang-orang tentangnya.

"Maaf, Indira. Maaf karena aku baru bisa datang padamu. Seharusnya kamu tidak perlu mendengar ucapan-ucapan itu untukmu. Maafkan aku..." Ucap Luna di sela-sela tangisannya. Hatinya benar-benar sakit hingga membuatnya terisak-isak.

“Luna?”

Tiba-tiba terdengar suara Arka yang memanggilnya. Luna cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi wajahnya dan berdiri. Ia tidak ingin sang suami melihatnya menangis di hari pertamanya berada di rumah itu.

Arka mendekat. Ia bisa melihat kesedihan yang membayang di wajah sang istri. Di wajah cantik itu pun masih terlihat dengan jelas sisa air mata yang sudah dihapus oleh gadis itu.

"Apa yang terjadi, Lun? Kenapa menangis?" Tanya Arka dengan dahi berkerut. Luna menggeleng.

"Aku tidak apa-apa, Mas. Kupikir Mas sudah tidur." Jawab Luna mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Katakan pada Mas, Luna? Apakah sebenarnya kamu keberatan dengan pernikahan kita? Itukah yang sudah membuatmu menangis?" Tanya Arka sambil memegangi bahu sang istri. Luna menggeleng.

“A-aku tidak apa-apa, Mas. Aku...”

"Kita sudah resmi menjadi suami istri, Luna! Jangan pernah menyimpan sesuatu sendirian! Jika kamu ada masalah, katakan pada Mas!" Pinta Arka dengan dahi berkerut. Air mata seketika kembali mengalir di pipi gadis itu. Kali ini ia benar-benar menangis. Arka langsung memeluknya.

"Mas! Aku mohon, perlihatkan rekaman CCTV kamar Indira sekarang juga! Aku ingin tahu apa saja yang sudah Indira alami selama di rumah tanpa mas Arka di sisinya." Pinta Luna di sela-sela tangisannya. Arka melepaskan pelukannya. Ia menatap mata sang istri dalam-dalam.

"Harus sekarang?" Tanya Arka. Luna mengangguk.

Laki-laki berusia 27 tahun itu menghela napas. Ia menghapus air mata di wajah sang istri dengan kedua ibu jari tangannya kemudian mengajak istrinya itu menuju ke ruang kerja yang terletak di samping kamar. Ia menuju ke perangkat komputer yang ada di sana dan menyalakannya. Menunggu sekitar tiga atau empat menit, Arka mulai mengotak-atik komputernya. Setelah itu ia menoleh pada Luna.

"Kamu ingin melihat apa?" Tanya Arka pelan.

"Apa saja." Jawab Luna singkat.

Arka mulai meng-klik salah satu file. Sebuah video rekaman mulai diputar. Baru sekitar lima menit rekaman itu berjalan, Luna menjerit melihat apa yang terjadi dalam rekaman itu.

Dalam rekaman itu, Indira terlihat menangis karena dimarahi oleh perempuan berusia kisaran 35 tahun. Perempuan itu terus marah-marah pada Indira yang terus saja menangis. Tiba-tiba, setelah tidak terlihat dalam rekaman, perempuan itu kembali sambil membawa sapu ijuk. Dan dengan kejamnya, perempuan itu melakukan kekerasan pada Indira dengan gagang sapu yang dipegangnya sambil terus marah-marah.

IndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang