Ingkaran Hati

203 22 5
                                    

Ini untuk para readers tercinta yang sabarnya gak ketulungan menanti Nisrin-Aidan. Happy reading.
(titip tulisan nanti kurevisi)

"Ain!"

Mendengar namanya dipanggil tidak biasa dari kejauhan, Nisrin yang berniat membeli makan lantas berhenti berjalan, kepalanya menoleh ke arah suara datang, sampai dia temukan, sesosok perempuan berkerudung pashmina biru dengan riang menghampirinya.

Walau tanpa jas dokternya, Nisrin mengenali temannya yang masih satu profesi walau beda divisi dengannya itu, Gisa*, seorang dokter muda ceria yang ditemuinya pertama kali dalam sebuah seminar dua tahun lalu. Hanya Gisa-lah yang memanggilnya Ain, berbeda dari kebanyakan orang yang mengenalnya. Perbedaan jarak antar kota tidak menjadi hambatan pertemanan mereka. Gisa semakin sering mengontaknya, dan lambat-laun mereka pun menjadi teman akrab.

"Masyaallah, Ain, gak nyangka bakal ketemu di sini. Sehat?" Gisa memberikan pelukan dan bercipika-cipiki singkat. Keceriannya seolah menginfeksi Nisrin untuk lebih bersemangat.

"Alhamdulillah. Kangennya. Udah lama gak ketemu Gisa. Lagi jenguk seseorang?"

"Iya nih. Mau ke kantin? Kebetulan aku juga, sekalian cari tempat ngobrol, yuk."

Pertemuan dengan Gisa, agak menyurutkan kesedihan Nisrin, membuatnya dengan mudah melupakan apa yang terjadi siang tadi. Keduanya memilih tempat yang sedikit menjauh dari keramaian, lebih dekat dengan kaca jendela, di mana taman rumah sakit yang awalnya tampak asri, tidak lagi terlihat karena tertutupi langit yang sepenuhnya gelap. Waktu cepat sekali berlalu.

Sore tadi Nisrin teringat Muhammad dan mengecek keadaannya melalui telepon. Dia meminta Noni menjaga Muhammad sehari ini, dia tidak bisa pulang untuk sementara waktu dikarenakan ayahnya belum juga sadar. Dia jadi lebih tenang. Tidak rugi juga dia mengikuti permintaan Rahmadi untuk menerima babysitter pemberiannya.

Nisrin sedikit bercerita kepada Gisa mengenai alasan keberadaannya di rumah sakit ini.

"Aku turut prihatin tentang ayahmu. Semoga beliau segera membaik."

"Makasih, Gis, untuk perhatiannya."

Merasa suasana menjadi agak murung karena pembahasan tentang Ikhsan, Gisa lekas mengganti topik pembicaraan. Tak sengaja pandangannya tertubruk pada cincin yang tersemat di jari manis Nisrin.

"By the way, selamat ya atas pernikahannya. Nikah kok gak ngundang aku," keluh Gisa, berbumbu candaan yang terdengar seperti gerutuan.

Mengejutkan bahwa Gisa yang tinggal di tempat yang jauh bisa mendengar kabar pernikahannya, apalagi hanya segelintir orang yang mengetahui pernikahan yang mereka selenggarakan secara rahasia tersebut.

"Kok kamu tahu?"

"Gini-gini kenalanku banyak loh." Bukan jawaban yang ingin Nisrin dengar.Gisa seolah ingin merahasiakan informan yang telah memberitahunya.

"Bukan begitu, Gis, Sebenarnya... pokoknya ceritanya panjang."

"Enggak masalah kalau Ain enggak mau cerita. Aku turut bahagia kok atas pernikahanmu."

"Gisa... maaf."

Gisa hanya mengangguk dan tersenyum seperti biasanya, berbeda dengan Nisrin yang merasa tak enak hati. Bukan maunya juga. Kalau bisa saja, dia ingin mengundang teman-temannya juga. Tetapi Rahmadi membatasi tamu yang hadir dan mengatur segala hal seenak hatinya.

"Tapi kamu hebat loh, Ain. Aku ingat sama salah temenku, namanya persis kaya nama suamimu, terus aku tahu dari salah satu temen katanya itu beneran si Arkan."

"Eh? Kamu kenal Aidan?"

"Iya, ternyata kita masih satu sekolah gitu pas di SMA."

"Kebetulan macam apa ini. Terus, apa maksudmu hebat?"

Tanpa RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang