Pernikahan

938 87 44
                                    

Pada hati yang diliputi sakitnya ketidakberdayaan. Pada kenyataan yang dipilihnya.

Nisrin melempar tatapan nanar pada pekatnya stagnan cahaya rembulan muda di balik tirai jendela. Meremangi kebimbang redup redam bayangan pernikahannya kelak. Tanpa rasa, bagaimana mereka akan menjalani kehidupan rumah tangga yang samawa?

Gadis itu memilin kuat ujung kerudung berwarna putih yang dikenakannya. Tubuhnya bersandar lunglai pada kepala dipan yang dipenuhi hiasan mawar. Pandangannya menerawang, mengingat kembali titah tak terbantahkan Rahmadi, pria yang kini telah menjadi ayah mertuanya.

"Itu bukan masalah, bukan? Ada Nisrin yang dapat menggantikannya!"

Pernikahan dadakan yang terjadi beberapa jam lalu, dihadiri hanya keluarga terdekat dalam tenggat waktu singkat, seminggu tepatnya persiapan mereka.

Akad nikah dilangsungkan ba'da Magrib hingga ba'da Isya, dilanjutkan dengan walimah sederhana di rumahnya. Sangat sederhana, jauh sekali dari bayangan pernikahan impiannya dulu.

"Tak pantas bagi seorang wanita muslim menikahi lelaki pezina, Nisrin! Apalagi dia! Sekalipun kamu menikahinya, anak itu tetap akan bernasab pada ibunya!"

Masih lekat terputar di kepalanya. Wajah merah padam, suara menggelegar ayahnya bersahutan dengan bunyi guntur langit berpenghujan tatkala dirinya menyanggupi keputusan sepihak Rahmadi. Suasana terasa begitu mencekam, isak tangis, dan rasa sesal kala itu.

Pandangannya mengabut. Nisrin menutup wajah dengan kedua tangannya. Dadanya bergetar. Buraian nestapa yang mengerak dalam dada tertumpah ruah, tak mampu lagi ditampungnya. Menyesakkan, rasa nyeri yang timbul tiba-tiba karena telah mengecewakan ayahnya.

Rahmadi tak pernah tahu. Dia tak mau tahu. Keputusannya adalah mutlak. Yang dia inginkan hanya pewaris keluarga dari anak semata wayangnya, tanpa memikirkan nasib gadis yang dia jadikan tumbalnya.

"Maafkan Nisrin, Abi," lirihnya di sela isak tangis.

Kini dia bertanya-tanya, kemana kiranya Nisrin yang telah berani menentang keputusan ayahnya untuk pertama kali?

Tangis bayi mungil yang menggeliat resah di dalam box, mengalihkan pikirannya. Menyeka lelehan kesedihan di wajahnya, Nisrin beranjak menenangkan Muhammad.

Muhammad, sang pelita dalam keremangan hidupnya. Nama yang diberikannya untuk mengenang seseorang yang begitu mendambakan manusia terbaik di muka bumi, yakni adiknya sendiri. Dalam hati dia bergumam, bahwa dia akan melakukan semua ini demi anak ini. Dia berjanji, putranya akan tumbuh dengan keluarga yang lengkap.

Muhammad terlelap nyaman dalam buaian ibunya. Suara ketukan pintu memecah kelenggangan suasana syahdu di antara keduanya. Nisrin terlonjak bangkit, tergesa memasang niqab yang tadi ditanggalnya.

Pintu dibuka. Menampilkan sosok ayah dari anaknya, berstatus suaminya kini. Masih lengkap dengan beskep pengantin berwarna gading. Gurat lelah tercetak jelas dari wajah Aidan.

Pandangan keduanya bertemu. Singkat. Aidan membuang muka, enggan untuk berlama-lama menatap Nisrin.

Ini adalah kali ketiga Nisrin bertemu Aidan. Satu waktu ketika kejadian buruk itu terjadi.

Nisrin mendesah. Betapa pelupanya dia. Aidan kini telah legal dan berhak atas diri dan hidupnya. Surga dan neraka telah berpindah dari kaki ibunya ke kaki jenjang pria di hadapannya. Dia menanggalkan niqabnya kembali, tak menyadari bahwa tubuh Aidan menegang dengan tatapan gelisah.

Ini juga pertama kalinya Aidan melihat wajah pengantinnya. Ai Nisrin Arifqa Nabhigah. Gadis yang baru saja membuat napasnya mendadak sesak seolah terhimpit batu gua.

"Assalamualaikum. Mmm... kita salat sunnah berjama'ah dulu ya, Bang."

Aidan mengerjap berulang, tersadar sekaligus tak dapat menyembunyikan rasa kejutnya. Mengimami shalat sunnah berjama'ah, katanya? Jangankan begitu, dirinya saja masih sering meninggalkan shalat wajib. Bacaan Al-Qur'annya pun masih terbata-bata. Kalah, dengan kemenakan sepupunya yang baru berusia sepuluh tahun.

"Kamu salat sendiri saja! Aku capek, ngantuk, mau tidur."

Dalam hati Aidan merutuk, bukan niatnya meninggikan volume suara dan membuat nada bicaranya terdengar ketus di hadapan Nisrin.

Seolah membalas tak acuh dengan keterkejutan Nisrin, Aidan melenggang masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Nisrin yang terpaku. Raut wajahnya tak terbaca.

Dia hamparkan jala kesabaran seluas-luasnya, berharap suatu saat akan membawa hasil dari luas dan kedalaman hati Aidan. Pertarungan menaklukkan hati Aidan baru menjajaki start awal dari perjalanan panjang mereka. Dan dia tak kan menyerah dengan mudah. Dia akan berusaha menjadi istri yang berbakti mesti tampaknya akan sulit mendapatkan timbal balik dari Aidan.

Ketukan kedua membuyarkan Nisrin dari lamunan. Ibunya datang hendak mengambil Muhammad.

"Taatlah kepada suamimu, apapun yang terjadi kamu yang sudah memilihnya, Nak."

Tangis Nisrin kembali terurai kala ibunya menyuruhnya tetap di dalam dan memenuhi kebutuhan Aidan.

Nisrin telah bersiap siaga menanti suaminya, kalau-kalau, Aidan menginginkan sesuatu darinya. Namun, bagi Aidan, bergelut dengan selimut dan ranjang lebih dia minati dibandingkan bercengkrama bersama wanita serupa bidadari surga yang membuat jantung pria berdentam-dentam riuh bak stadion GBK.

Keduanya membutuhkan waktu untuk saling menerima. Nisrin yang merasa takut akan setengah-setengah melaksanakan kewajibannya. Sedangkan Aidan, merasakan kesedihan tak terkata, bahwa pernikahan yang akan dia jalani, tak lebih dari sekedar paksaan untuk menutupi aib.

Malam itu terlewati tanpa sesuatu yang istimewa. Bukan malam syahdu yang akan mereka kenang seumur hidup. Malam penuh duka bagi dua sejoli yang ditakdirkan menempa biduk rumah tangga tanpa rasa, sebelum menuju mahligai rumah tangga yang sebenarnya.

***

Sambung lagi....

A/N

Ba'da: Setelah

Niqob: cadar

 

Tanpa RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang