Keputusan-Penyesalan?

261 39 7
                                    

Hoho aku kembali. Apa kabar man-teman reader? Semoga selalu dalam lindungan Allah. Nisrin numpang lewat aja kali ya. Mau up double, sek liat ntar. Beberapa kali coba nulis terus aja kedistrak. Semoga masih segar dibacanya ya

Happy Reading ^^

------------------------

"Hei, bangun." Aidan menguncang tubuh Nisrin yang tertidur nyenyak di samping Muhammad. "Hei! Ai Nisrin, bangun!" ulang Aidan. Nisrin agak tersentak karena suara Aidan yang meninggi.

Nisrin duduk diam sebentar, perlu beberapa waktu sampai kesadarannya sempurna. Aidan berdiri di dekatnya, tangannya dibalut jaket, yang kemudian dia sembunyikan di belakang punggung, matanya hanya melirik Nisrin yang masih terdiam di tepi ranjang.

Nisrin mengusap wajah guna menghilangkan kantuk yang tersisa. "Kenapa, Abang? Sarapannya sudah kusediakan di meja, bukan?"

Sepagi ini Aidan membangunkannya. Ai Nisrin sebenarnya tidak biasa tertidur setelah pagi, hanya saja sejak dua hari mereka tinggal di sini, Muhammad masih rewel karena belum bisa beradaptasi, dia bahkan menolak digendong Mbak Noni sehingga Nisrin harus turun tangan sendiri. Dia amat lelah karena pindah dadakan mereka kemarin lusa dan sekarang Muhammad bahkan menolak minum susunya.

"Bukan itu." Aidan masih tidak memandang Nisrin, berdiri agak jauh dari jangkauannya. "Ada orang yang mencari kamu."

"Siapa?"

"Mana kutahu!"

"Paling enggak tanya dulu keperluannya."

"Kamu lihat aja sendiri!"

Aidan melengos dan masuk ke dalam untuk mengganti baju. Tadi niatnya hanya membangunkan Nisrin karena tamu yang dilihatnya adalah wanita. Aidan tidak repot-repot untuk melihat siapa dan apa keperluannya, karena malas duluan berhubungan dengan perempuan, siapa saja.

Nisrin heran. Selain agaknya Aidan perlu diajari cara membangunkan seseorang dengan lebih beradab, juga perlu dibimbing untuk berbicara lebih kalem. Nadanya yang melengking, terkesan mengajak memulai pertengkaran. Enggak hilang-hilang ketusnya dari kemarin. Mungkinkah Aidan memang selalu begini?

"Ya sudah. Orangnya di mana?"

"Di depan pintu," sahut Aidan dari kamar lain.

"Kenapa enggak dusuruh masuk dulu," ujar Nisrin terdengar agak menggerutu. Dia bergegas bangkit menuju ke depan, tidak tahu juga berapa lama tamu di depan yang dibiarkan Aidan menunggu.

Sesosok wanita berkerudung hitam dengan kerutan keriput di wajahnya, langsung tersenyum begitu pintu terayun membuka. Tadinya, dia sudah akan mengurungkan kunjungannya karena mengira tidak ada orang di rumah.

"Ummi!" Nisrin menghambur ke pelukan Aisyah. Tangannya merangkul pinggang ibunya, menggiringnya ke ruang tamu. "Kenapa enggak bilang dulu. Kan bisa Nisrin jemput."

"Gak usah. Ummi cuma kangen sama Muhammad." Aisyah meletakkan buah tangan bawaannya ke atas meja dan duduk bersama Nisrin di sebelahnya.

"Baru tertidur. Muhammad rewel sekali sejak pindah, mungkin nyetrum kangennya."

"Suamimu ada?" tanya ibunya, celingak-celinguk melongok ke arah dalam.

"Abang Aidan ada di dalam."

Belum tuntas Nisrin berbicara, Aidan tiba-tiba keluar dari dalam, telah memakai jaket dan memegang kunci motor. Dia menggangguk sekilas, lalu menghilang keluar rumah tanpa mencium tangan Ummi-nya maupun mengucapkan sepatah kata pun.

Nisrin merasa agak terkejut dan tak enak hati karena takut Ummi-nya tersinggung dengan sikap Aidan yang terkesan tidak sopan.

"Ummi... Abang--"

"Jangan khawatir, Ummi enggak tersinggung kok." Aisyah kembali menyarangkan senyum teduhnya, walaupun Nisrin menemukan kerut kekhawatiran dari matanya. "Kamu bagaimana? Sudah ada perkembangan?"

"Ummi enggak usah khawatir, meski terkesan cuek, Abang sebenarnya orangnya baik kok."

Tidak sepenuhnya dusta, Nisrin hanya belum mengenal Aidan dengan benar. Kata baik memang belum dia temukan dari diri Aidan, tetapi tidak baik juga membuat orangtua khawatir.

"Alhamdulillah kalau kamu bisa beradaptasi."

"Ummi... Abi, gimana keadaannya?" Nisrin mengalihkan pembicaraan. Topik Aidan membuatnya sedikit tak nyaman.

"Sebaiknya kamu segera menemui Abi. Tujuan Ummi tentu bukan untuk mempertanyakan keputusan Nisrin karena itu sudah terlambat, tetapi, Abi ingin meyakinkan kalau kamu tidak menyesal dan benar-benar yang memilih keputusan ini," ibunya mengucapkan dengan nada khawatir.

Karena itu ibunya mendadak datang tanpa memberitahu. Dan apa yang akan disampaikan ibunya melihat sikap Aidan yang tak bersahabat seperti tadi. Nisrin tidak mau mereka-reka sendiri.

Menyesali ketika nasi sudah jadi bubur, sama saja dengan mengakui kekeliruannya sendiri. Bisa-bisa ayahnya menganggapnya lopak-lapik, hanya mengambil keputusan secara impulsif karena dorongan keras dari Rahmadi.

Nisrin mengingat hari saat pernikahan telah diputuskan. Rahmadi senang, ayahnya benar-benar tidak ingin melihat Aidan.

"Abi tidak mengizinkan kamu menikahi laki-laki itu!"

Nisrin sampai bersimpuh meminta sang ayah lebih berbelas kasih. "Nisrin mohon Abi, Nisrin yang akan menanggungnya, tolong turuti sekali saja permintaan Nisrin."

Melihat Nisrin sampai memohon demikian, hati ayahnya tidak bisa lebih sakit lagi.

Sungguh keterlaluan, pria kotor bernama Rahmadi itu. Tidak cukup dulu dia selalu mengganggu hidupnya, kini anaknya justru menyarang keretakan di dalam keluarganya.

Ikhsan tidak luluh dengan semua bujuk rayu. Tidak ridho dia melihat anaknya menikahi pria itu. Ai Nisrin tidak beranjak sebelum mendengar keputusan. Ayahnya memilih mengikhlaskan, namun enggan mengawinkan.

Di saat ayahnya jatuh sakit, Nisrin ingin menolak pernikahan tetap terjadi, tetapi Rahmadi tak tinggal diam.

"Jika kalian ingin bermain-main, cari saja orang lain! Saya pastikan akan mengambil anak itu dari kalian. Camkan ini!"

Begitu urgent pernikahan Nisrin lebih daripada kesehatan ayahnya. Bagi Rahmadi, mereka tidak penting selama tujuannya sendiri tercapai. Nisrin sempat mengancam akan menggagalkan pernikahannya, namun ia tak punya pilihan lain, ayahnya pasti akan mempertanyakan keputusannya.

Ikhsan terpaksa mewakilkan putri pertamanya di tangan pamannya. Dan bahkan tidak dapat menghadiri pernikahan putrinya sendiri.

Ai Nisrin begitu sedih dan marah, walau tidak berkata-kata.  Apakah dia menyesali keputusannya kini?

Tanpa RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang