Amarah Aidan

138 10 0
                                    


Seminggu kemudian Aidan pulang tanpa mengabari, masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke arah Nisrin yang masih terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. Aidan menuju ke arah kulkas, mengambil sebotol minuman dan meneguknya tetap dalam posisi berdiri.

"Seenggaknya duduk saat minum."

Aidan yang mendengar itu hanya mengabaikan dan meletakkan botol yang masih meneteskan uap es itu ke meja. Anehnya selama itu pula Nisrin terus memperhatikan gelagatnya. Itu sebuah pertanda, Nisrin akan menanyainya. Intuisi Aidan sering benar, jadi dia hendak bergegas kembali ke kamar. Tetapi entah sejak kapan Nisirn telah berada di sampingnya, seolah mencegah Aidan melangkah lebih jauh menuju kamar dengan mengajukan pertanyaan yang telah dia prediksi.

"Abang, kemana saja selama seminggu ini?"

"Bukan urusan kamu," sahutnya ketus. Dia sedikit bimbang akan terus ke kamarnya atau tidak. Jika dia melanjutkan, dia akan bersentuhan dengan Nisrin meski tidak sengaja, dan itu hal yang tidak diinginkannya.

"Apa kita akan terus seperti ini?"

"Saya tidak pernah minta kamu bicara dengan saya." Lagi-lagi wanita ini mengujinya.

"Paling tidak dengarkan Nisrin sekali saja."

"Kamu bilang sekali tapi yang kamu lakukan sekarang? Dasar perempuan, kapan mereka enggak ingkar janji. Kemarin kamu bilang tidak akan ungkit privasi masing-masing, lalu kamu menangis setelah menerobos batas privasi."

"Jadi apa Nisrin hanya harus diam menerima? Nisrin juga manusia, bukan boneka yang enggak bisa merasa terluka"

"Kenapa kamu merasa terluka. Jangan bertingkah seperti ABG labil yang kurang jajan. Mau sampai kapan kamu memaksakan idealisme kamu? Pernikahan palsu harusnya dijalani dengan pura-pura saja. Di rumah juga enggak ada yang ngeliat kita. Kamu cuma perlu terbiasa"

Kalimat itu meluncur tanpa dirinya sendiri duga. Dia terlalu banyak bicara, bahkan cenderung lebih sering tidak dapat menahan emosi di setiap kata. Seolah-olah Nisrin tengah membuka pintu saluran air yang tersumbat di dalam hatinya. Padahal dia jarang sekali berbicara, menunjukkan emosi, bahkan sampai merpraktikkan keduanya. Wanita itu sungguh sulit dihadapi. Dia terlalu terpaku dengan perasaan. Aidan dibuatnya benar-benar bingung harus bagaimana lagi. Mengapa dia tidak pergi saja jika sudah se-tidak tahan itu.

Nisrin hanya berniat menikah sekali. Dia tidak mencintai Aidan tapi dia terus mencobanya. Dia berharap dapat akur dan memulai kisah romansa yang berakhir indah, namun apa daya Aidan bukan pria semacam itu, dan lebih parahnya Aidan tidak pernah menyukai Nisrin sejak awal mereka berjumpa.

Berkali-kali dia menyerah, dan setiap kali dia menyerah, akan ada satu dua hal yang membuatnya mengurungkan niat dan kembali mencoba. Nisrin menjadi penasaran dengan takdir apa yang berada di masa depannya. Apakah Aidan akan termasuk di dalamnya. Jika saja Nisrin lari bersama keluarganya, bagaimana nasib Aidan yang terus ditekan ayahnya?

Seharusnya itu bukan urusan Nisrin sejak pertama kali, dan memikirkan nasib orang lain lebih dulu dibandingkan dirinya tidak ada dalam kamus Nisrin sebelum merawat anaknya. Sekarang entah bagaimana dengan restu sang ayah dia dipaksa menghadapi Aidan. Langkah apa yang sebaiknya Nisrin ambil dalam situasi ini. Jika dia tidak melakukan sesuatu yang mendobrak, Aidan tidak akan mengingatnya.

Bersama niatan itu Nisrin dengan mata berkaca-kaca, mendekat ke arahnya tanpa dia sangka, sebelah tangannya melayang seprsekian detik menuju ke arah dada Aidan. Itu mungkin sebuah pukulan, meskipun Aidan tidak merasakan sesakit yang dia pikirkan. Dia bahkan merasa khawatir apakah tangan yang memukulnya baik-baik saja.

Sejujurnya tendangan anak lelaki berumur sepuluh tahun jauh lebih menyakitkan. Sekali lagi Aidan diperlihatkan fakta lain tentang betapa lemahnya wanita di hadapannya. Apakah semua perempuan serapuh ini?

Aidan tercengang, sampai suaranya nyaris tidak keluar.

"Apa apaan--"

"Sakit, bukan?" Matanya memandang Aidan tegak seolah hendak menjelaskan maksud dari perlakuannya. Nisrin menahan tenaganya, kendati merasa sedikit bersalah, hanya dengan cara ini mungkin Aidan bisa memahaminya. "Kamu masih manusia, jadi tolong bertingkah seperti manusia. Kamu bisa merasa sakit, marah, dan kecewa, begitu juga Nisrin."

Aidan mengira-ngira apa yang akan Nisrin katakan selanjutnya, tetapi dia gagal melihat definisi privasi yang dimaksudkan Nisrin untuk dirinya.

"Aku mengerti. Baik kalau itu mau kamu. Kamu ingin bebas berkeliaran mencari wanita baru, silakan, tapi aku akan tetap di sini, menjadi istri kamu yang manis yang senantiasa menyambut kamu di rumah sepulang kerja."

Apa itu tekad seorang Ai Nisrin? Bisa-bisanya dia mengatakan hal semenyedihkan itu.

Entah mengapa ucapannya justru membuat Aidan marah. Sangat marah, seperti gunung berapi yang siap meletus kapan saja. Tangannya mengepal tanpa Nisrin tahu, dia merasa gelisah, seolah ada yang salah. Aidan berbalik badan, mengambil botol tadi, meminumnya lalu dengan keras membantingnya kembali ke meja.

"Sialan!" Selepas menggebrak meja, Aidan menatap Nisrin tajam. Lonjakan emosi yang Nisrin rasa sedikit berlebihan. Tatapan tajam itu tak pernah dia perlihatkan sebelumnya.

Apakah perkataan Nisrin salah?

Apakah dia terlalu dangkal menyimpulkan bahwa Aidan benci terikat komitmen yang tidak dia inginkan?

Aidan berdiri tegak, berjalan menuju ke arahnya semakin dekat dan dekat, Nisrin tanpa sadar mundur karena takut, Aidan terus menguarkan emosi marah, sampai Nisrin tersudut di dinding. Dalam keterkejutannya Aidan menekannya, mendekatkan wajahnya ke telinga Nisrin yang membeku.

"Berani sekali wanita lemah seperti kamu menantangku. Bahkan badan kamu menggigil karena takut. Mungkin saja saat kamu tidur, kamu sudah berada di alam sana. Siapa yang tahu?"

Aidan mengancamnya?

Setelah mengatakan yang dia inginkan, Aidan melepasnya dan menyeringai. Nisrin gemetar dalam kungkungan itu, tetapi Aidan lebih merasa lega dibandingkan marah. Dia sengaja mengarahkan Nisrin ke tempat yang berbeda dari lorong menuju kamarnya agar wanita itu tidak akan menghalangi jalannya. Aidan meremas tangannya dengan gusar sembari hendak berjalan cepat meninggalkan Ai Nisrin yang dikiranya masih membeku terkejut. Namun tanpa dinaya Ai Nisrin berdiri tegak memanggil nama Aidan.

Tidak boleh berakhir seperti ini, itulah yang dipikirkan Nisrin. Bukan begini yang diinginkan Nisrin. Dia tidak bisa kehilangan kesempatan. Padahal tadinya Nisrin berniat meminta maaf karena sempat salah paham mengenai ayahnya, dia tidak menyangka akhirnya justru menjadi perseteruan lain.

"Aku..." Ternyata belum berakhir semua siksaan wanita ini. "hanya ingin minta maaf karena sudah salah paham hari itu, dan hari ini aku juga salah paham. Aku minta maaf."

Dilihatnya Aidan berhenti sekilas sebelum membanting pintu tanpa berbalik.

Tanpa RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang