✭7 warna pelangi✭

844 72 1
                                    

                —7 warna pelangi—

Zaydan yang melihat jika Steven di geret oleh sang ayah langsung pergi ke kamar mandi untuk menolong Steven, sedangkan Sean pergi untuk memberitau saudara-saudaranya yang lain.

                              ***

Zaydan kini sedang berusaha untuk mendobrak pintu kamar mandi itu dengan sisa tenaganya, meski sulit Zaydan tetap bersikeras untuk mendobrak pintu itu hingga terbuka.

Kini kelima saudara-saudaranya datang untuk menolong Zaydan yang sudah sedikit melemah.

Di dalam sana Steven masih di banjiri oleh air yang mengalir dari shower, ia tidak berbuat apa-apa, ia hanya bisa terduduk lemas disana sambil menatap tumbuhnya yang penuh dengan bekas pukulan yang membiru. Hatinya terasa sesak, ia sudah tidak tahan untuk menahan tangisannya, Steven menangis tanpa bersuara.

"Kenapa ayah kejam banget." Ucap Jeremy.

Mahesa, Zaydan, Raja, dan Sean berusaha untuk membuka pintu itu. Sedangkan Juna dan Jeremy hanya diam, mereka memang tidak di perbolehkan membantu oleh Mahesa.

Pada akhirnya pun pintu terbuka, Mahesa dan Sean langsung memasuki kamar mandi itu. Terlihat Steven yang masih di banjiri oleh air yang mengalir dari shower dan sekujur tubuhnya penuh dengan luka yang membiru, di sudut wajahnya pun terdapat sebuah darah yang mengalir.

"Stev, lo gapapa?" Tanya Mahesa dengan panik dan langsung mematikan shower.

Steven hanya diam, ia tidak menjawab pertanyaan Mahesa.

Tanpa berlama-lama lagi, Mahesa membantu Steven untuk berdiri. Mahesa menuntun Steven untuk pergi ke kamarnya.

Tetapi tiba-tiba saja sosok sang ayah berada di depan pintu kamar mandi itu sambil melihat anak-anak itu dengan tatapan tajam.

"Bangsat." Gumam Juna saat melihat sosok ayahnya.

"Se-bangsatnya saya, saya masih mempunyai harga diri." Ucap Joshua kala mendengar gumam Juna.

"Harga diri anda sudah mati. Ayah mana yang tega menyiksa anaknya? Ayah mana yang tidak pernah memberi anaknya kebebasan? Ayah mana yang berani memukuli anaknya hingga tak berdaya?" Ucap Juna sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Persetan. Jika kamu ingin berurusan dengan saya, maka kamu akan tau akibatnya." Ucap Joshua seraya pergi dari sana.

                               ***

Kini tubuh Steven tengah terbaring lemas di atas kasur. Semua saudara-saudaranya sangat khawatir dengan kondisi Steven saat ini, tubuhnya penuh dengan luka.

"Semoga lo bakal lupa sama kejadian ini. Jangan pernah mengingatnya, karna itu cuma menimbulkan rasa sakit yang masih membekas." Ucap Mahesa memberi tau Steven yang tengah memejamkan matanya.

"Kak, semesta kok jahat banget ya." Ucap Raja yang berada di belakang tubuh Mahesa.

Sontak Mahesa menoleh. Ia menghembuskan nafas beratnya ke udara.

"Sejahatnya semesta, semesta masih adil sama kita, jangan pernah benci sama semesta, semesta gak salah. Suatu saat pasti bakal ada kebahagian yang menunggu. Semesta pasti bakal berpihak sama kita." Jelas Mahesa kepada Raja yang terlihat sangat frustasi dengan keadaan sekarang.

"Raja, jangan nyerah, lo harus semangat, apa yang di katakan sama kak Mahesa itu bener. Ada kita disini, dan ada mama disana." Ucap Jeremy seraya menepuk pundak Raja.

Raja hanya memberikan sebuah senyuman kecil yang terukir di bibir mungilnya.

Pada akhirnya mereka meninggalkan Steven sendirian di kamarnya, mungkin saja Steven butuh waktu untuk istirahat.

                               ***

Mahesa mengambil sebuah kotak kecil di dalam laci nakas dekat kasurnya. Kotak kecil berwarna hitam dan berisikan gelang yang cantik. Gelang dengan berbagai kenangan.

Mahesa membuka kotak itu perlahan, jujur saja kini dadanya terasa sesak.

Mahesa menatap gelang itu dengan tatapan penuh arti, seakan sedang merindukan sosok seseorang.

"Ma, Aku gagal." Lirih Mahesa sambil menatap gelang itu.

"Maaf ma. Benar kata Raja, semesta jahat." Gumam Mahesa.

Tanpa Mahesa sadari ia memakai gelang itu.

"Jika kamu gagal, maka kamu harus berusaha lebih keras, Hesa. Ada mama disini yang akan menolong kamu."

Sayup-Sayup suara itu terdengar jelas di telinga Mahesa, seakan sang ibu sedang memberi isyarat kepada anak sulungnya ini.

                               ***

Disisi lain Steven tengah termenung sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong. Pikirannya masih di hanyutkan oleh kejadian tadi, ia sedikit trauma dengan kejadian itu, tetapi ia berusaha untuk melupakannya.

Steven memutarkan bola matanya menghadap ke laci nakasnya, ia mengingat jika ia menyimpan gelang istimewa pemberian mendiang sang ibunda disitu.

Steven membuka laci nakas itu dan terlihat ada sebuah kotak kecil berwarna hitam sama seperti milik saudara-saudaranya.

"Mama, Steven mau di peluk lagi, itu obat bagi Steven." Gumam Steven sambil memperhatikan kotak berwarna hitam itu.

"Ayah jahat ma, kalau boleh aku mau ikut mama aja." Lirih Steven seraya menahan isak tangisannya.

Steven pun memakai gelang itu, siang ini ia melampiaskan kerinduannya kepada gelang itu, gelang pemberian sang ibu beberapa tahun lalu.

                               ***

Langit sore mulai berwarna orange ke biruan, menandakan jika sudah menjelang sore hari.

Remaja berambut coklat pekat memperhatikan langit sore yang berwarna orange ke biruan, Sean memang menyukai langit, langit yang berwarna seperti ini yang Sean suka, menurutnya itu menenangkan dirinya.

Hembusan angin lewat tepat di depan wajahnya, hembusan angin yang sangat sejuk dan membuatnya sedikit tenang.

Sean kembali ke meja belajarnya, Sean termenung sejenak, ia masih memikirkan bagaimana keadaan Steven, ia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang menjadi Steven, jika ia di perlakukan seperti itu rasanya ia ingin menyerah saja.

Renungan Sean teralihkan oleh sebuah kotak hitam yang berada tepat di depan matanya.

Sean melayangkan senyuman kecil kala melihat kotak hitam itu. Itu adalah kotak yang berisi gelang yang sangat istimewa baginya.

Saat ingin memakai gelang itu ia menjadi dejavu kepada orang yang memberikan gelang ini.

"Jangan pernah takut kalau kamu di ejek, jangan pernah dengar apa kata orang lain, jadilah diri kamu sendiri."

Itu lah yang mama ucapkan saat Sean di bully.

"Mama, Sean sebenernya masih takut, tapi Sean berusaha lawan rasa takut itu." Ucap Sean dari dalam hatinya.

"Walau mama udah gak ada disisi kita, tapi jiwa dan kenangan yang mama kasih untuk kita masih tersimpan di hati kita." Ucap Sean lagi dari dalam hatinya.

Sean tersenyum kala melihat lengannya yang terlingkar sebuah gelang yang sangat cantik. Apakah mama nya akan mendengar perkataannya dari dalam hati? Ia tidak tau pasti, yang pasti Sean sangat menyayangi mama nya.

               —7 warna pelangi—

               —7 warna pelangi—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
7 Warna Pelangi | Enhypen[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang