Part 3

356 18 0
                                    

Sekitar jam sepuluh, kami berdua berniat ke rumah orang tua Widya. Aku sedang bercermin, menatap pantulan diriku. Hanya mengenakan celana bahan warna hitam dan kemeja warna hitam juga.

"Udah rapi." Ku ikat rambutku menjadi satu. Lalu meraih tas ku, membukanya dan mengecek barangkali ada yang tertinggal.

"Ah, beres. Ayo mas." Ajak ku kepada mas Awang yang sedari tadi memainkan ponselnya.

"Apa rumahnya jauh?" Tanyaku saat sudah memasuki mobil.

"Tidak." Aku menganggukan kepalaku. Lalu membuka ponselku menghubungi Mas Pram.

"Assalamualaikum mas?"

"Sarah berangkat siang. Ada urusan sebentar."

"Sarah ngak bisa ikut dulu. Suruh saja Doni mengantikan ku."

"Y nanti jika urusan Sarah sudah selesai, Sarah kabari."

"Oke."

Setelah itu panggilan terputus. Aku fokus ke depan. Padahal dalam hatiku aku begitu tak tenang. Bagaimana caraku meminta izin kepada orang tua Widya nanti? Jujur aku takut ketika mereka nanti menolaknya.

"Kau bilang kepada kakak mu itu?"

Aku menengok ke arah suamiku, "Aku tidak mengatakannya. Lagian untuk apa? Ini urusan rumah tanggaku."

"Kau kan adik kesayangannya."

"Ya memang."

"Aku tidak menyangka jika Pram masih memperlakukanmu seperti bocah."

"Hahahaha....entahlah padahal dia sudah memiliki satu anak. Terkadang aku dan Tissa bertengkar merebutkan mas Pram."

**********************************

"Assalamualaikum."

Suara dari dalam membuatku bernafas lega. Orang tua Widya ada di dalam rumah.

"Waalaikumusalam. Siapa?" Aku melihat wanita tua yang membukakan kami pintu terkejut melihat kedatangan kami.

Didalam terjadi ketegangan karena mas Pram yang telah mengutarakan niat baiknya itu. Ada Abi Hasan, Umi Nur dan Widya. Mereka semua terdiam sampai akhirnya Abi Hasan membuka suaranya.

"Saya bukannya tidak mengizinkan nak Nehan untuk melakukan poligami. Tapi nak Nehan baru kemarin menikah, masa mau memadu istrinya? Lalu apakah mas Nehan sanggup bersikap adil kepada kedua istri mas Nehan?" Tanya Abi dengan nada halus.

"Saya bisa bersikap adil dengan mereka Abi. Nehan janji." Jawaban tegas Nehan membuat Abi Hasan tersenyum kecil sedangkan Sarah terdiam, termenung.

"Jujur saja Abi kurang setuju nak Nehan. Abi tidak ingin Abi menjadi istri ke dua. Nak Nehan tau sendiri sikap putri Abi seperti apa kan? Jadi, mohon maaf yang sebesar-besarnya Abi menolak pinangan nak Nehan."

Aku terkejut mendengar penolakan Abi Nehan. Aku menangis, tidak ini tidak boleh terjadi, mas Awang bisa menceraikan ku nantinya.

Aku menangis dan bersujud di antara Abi Hasan dan Umi Nur, "Umi..." Panggilku dengan memegang kedua tangannya dengan air mata yang telah luruh dengan deras.

"Sarah ikhlas umi di madu oleh mas Awang apalagi dengan Widya. Sarah tidak terpaksa menjalankannya. Sarah janji akan menjaga Widya seperti adik kandung Sarah sendiri. Izinkan Widya menikah dengan mas Awang ya umi hiks...?"

Umi tampak gelisah, dia melirik ke arah Abi Hasan meminta bantuan untuk menjawab.

"Umi bukannya melarang Nak Sarah. Tapi....." Umi Nur tampak mengantungkan Kalimantan membuat aku menengok ke arah Widya.

"Widya mau kan menjadi istri ke dua mas Awang? Mau kan menikah dengan mas Awang?"

Widya tampak terdiam. Dia berpandangan dengan mas Awang sebelum akhirnya mengangguk, "Widya mau menikah dengan mas Nehan."

Aku tersenyum mendengar jawaban dari Widya barusan. Aku menatap Abi dengan tatapan memohon masih bersimpuh di antara kedua orang tua Widya.

"Abi, Widya mau menikah dengan mas Awang. Apa yang Abi takutkan? Katakan sama Sarah, Abi. Mas Nehan orangnya baik, Abi dan umi juga sudah mengenal dengan baik mas Nehan bukan? Mas Nehan dan Widya juga saling mencintai. Sarah tidak akan berbuat yang macam-macam kepada Widya hiks....jadi tolong restuilah mereka. Hiks....Sarah berani bertanggung jawab jika ada apa-apa nantinya Abi." Aku menangis tersedu-sedu meminta restu kepada orang tua Widya.

"Nehan janji abi, akan membahagiakan Sarah dan Widya. Akan berlaku adil untuk keduanya tanpa pilih kasih." Mas Awang juga bersimpuh didepan kaki Abi meminta restu.

********************************

Didalam mobil aku terus mengusap air mata yang mengalir di pipiku, menghapus bekasnya dengan kasar.

"Kamu lapar mas?" Tanyaku dengan sesenggukan.

"Lumayan sih." Jawabnya membuat aku menganggukan kepalaku, "Ayo makan dulu di warteg. Kebetulan aku juga lapar."

"Mau makan dimana?" Aku mengedarkan pandanganku ke luar jendela sebelum menjawab pertanyaan mas Awang.

"Mas berhenti." Mas Awang menghentikan mobilnya di tepi jalan.

"Kalau makan bakso gimana? Aku mau bakso didepan itu." Mas Awang menganggukan kepalanya dan kami pun keluar dari dalam mobil.

"Pak, baksonya 2 ya."

"Kasih sayur sama mie mbak?"

"Pake pak. makan sini y pak." Setelah itu aku duduk di samping mas Awang.

"Kasihan ya, udah tua masih jualan cari uang." Ucapku tanpa melirik ke arah mas Nehan.

"Iya kasihan."

Bakso sudah jadi. Kami pun makan dengan hening, tiba-tiba mas Awang mendesis kepedasan karena dia terlalu banyak menuangkan sambal.
Karena es belum jadi dan hanya ada air putih aku dengan cepat membukanya walaupun dengan kesulitan karena tak menemukan sedotan.

"Ini minum dulu." Mas Awang menerimanya dan meminumnya hingga habis.

"Aku tak bisa makan pedas." Aku tertawa mendengar penuturannya, "Rasanya aneh mas tidak menyukai pedas tapi begitu banyak menuangkan sambal ke bakso."

"Tadinya aku berpikir ini tidak pedas, melihat mu makan dengan santai jadinya aku ikut-ikutan ternyata sangat pedas." 

"Hahahaha aku suka pedas. Jangan ikut-ikutan aku lagi. Karena aku suka makan pedas."

"Mau ganti bakso?" Tawar ku kepadanya. Mas Awang menggelengkan kepalanya, dia tetap melanjutkan makan baksonya sampai habis.

"Ini buat bapak."

"Alhamdullah terima kasih ya mbak."

Aku tersenyum mendengar bapak penjual bakso mengucapkan puji syukur.

"Semoga dagangannya lancar ya pak, bakso bapak enak. Lain kali saya datang lagi ke sini. Uang itu buat keluarga bapak sama modal buat usaha bapak."

"Sekali lagi terima kasih ya mbak. Semoga rejeki mbaknya tambah lancar dan di mudahkan segala urusannya."

Mendengar doa dari bapak membuat aku mengaminkan, "Amiin."

"Saya pulang dulu ya pak." Ku raih tangan si bapak dan ku cium punggung tangannya. Si bapak awalnya terkejut namun aku langsung pergi masuk ke dalam mobil.

"Lama sekali." Omel mas Awang ketika aku masuk ke dalam mobil.

"Tapi ngobrol dulu sama bapak penjual baksonya. Orangnya ramah baksonya juga enak."

"Yuk jalan mas."

CORETAN CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang