^8^

1.2K 133 9
                                    

-Kebungkaman menjadi benteng pertahanannya-

_______________________________________

Runi disini, duduk diam sendiri di atas gersangnya tanah tanpa alas. Dengan terdapat sepasang pohon rimbun yang menaunginya dari silau panas. Sedari tadi kiasan kekosongan terpancar jelas oleh rautnya. Entah hal apa yang tengah merasuki otak berkapasitas ekonomisnya saat ini, hingga berbuat demikian.

Beberapa waktu berlalu dengan damai hingga lamunan Runi buyar tatkala merasakan suatu hal yang terasa membentur pipinya. Runi memalingkan wajahnya lalu mendapati Jevan dengan sebotol air mineral dingin.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia menerima air itu lalu lekas meneguknya kasar. Jevan dengan ke dua kaki yang masih menumpu tubuhnya diam memperhatikan Runi dari samping dengan tatapannya yang intens.

"Li" celetuk Jevan memulai percakapan.

Runi diam tanpa menyahut, tetapi Jevan tau dia sedang mendengarkannya. Putuskan mengakhiri jongkoknya Jevan beralih duduk dengan mensejajarkan kakinya mengikuti Runi. Mereka duduk bersebelahan namun bungkam dengan pemikirannya sendiri.

Tak berangsur lama keheningan pudar oleh tindakan tak terbaca Jevan. Tanpa permisi dia beranjak bangun dari posisi sebelumnya lalu spontan berjongkok mensejajarkan dirinya tepat di hadapan Runi. Kedua lengan kekarnya pun ikut ia gunakan sebagai pencengkram ke dua sisi bahu kecil milik gadis itu.

Dia diam namun sorotnya memancarkan keseriusan yang belum pernah Runi tangkap. "Keluar lo dari tubuh ini! Gue tau lo itu Demit dari empang Lele di belakang!" Seru Jevan dengan alisnya yang menukik tajam.

"Lo bukan Lia... lo demit yang nyasar kesini kan?ngaku lo mit!" Lanjutnya tegas.

Dia menginterogasi dengan penuh keintimidasiannya pada Runi. Runi sendiri tetap memilih bungkam dengan iris hitamnya yang menyorot aneh. Merasa tak nyaman dengan situasi tersebut ia lekas berdiri secara mendadak.

Jevan terdorong mundur oleh tindakan spontan Runi. Sebelum kakinya beranjak pergi Runi sempatkan melirik Jevan sekilas dari ujung netranya. Lalu tanpa ingin memperpanjang lagi dia langsung berlalu meningalkan Jevan sendirian dengan seribu kebisuannya.

Jevan diam terpaku, helaan napas kasar menyapu bibir keringnya. Nyatanya terdapat banyak sekali pertanyaan bercampur rasa khawatir yang terus berputar dalam benaknya saat ini. Kekhawatiran terhadap perubahan drastis yang dialami oleh Lia nya.

Tetapi bodohnya orang yang tengah dikhawatirkannya malah tidak tau diri seperti ini. Haruskah dirinya harus mencari tau alasannya sendiri? Atau...ah entahlah! Ia jadi ikut pusing jika terus memikirkannya lagi.

Jevan memalingkan wajahnya memandang birunya langit. Matanya menyipit kala menahan silau dari terik. Dia mengernyit bersamaan dengan terbitnya seutas senyum tipis yang samar. Detik selanjutnya senyum itu memudar tergantikan oleh retinanya yang beralih melirik ke arah ponsel yang bergetar.

"Hmm?" dehem Jevan mengangkat panggilan. Jevan menerbitkan senyum. "Tunggulah wahai Adinda ku, Kakanda mu ini siap melabuhi langit ke tujuh untuk menjemput mu" Jevan berlalu pergi dengan senyumnya yang merekah. Meninggalkan sebotol air bekas Runi yang masih berdiri sunyi dengan kesendiriannya.

•••

Masih dihari yang sama, hiruk pikuk semerbak angin menerbangkan setiap helaian anak rambut milik Runi. Runi disini, duduk diam menatap luasnya area sekolah dari jendela terbuka yang berada tepat di sebelah bangkunya. Tiada yang dilakukannya sedari tadi selain mengamati diam setiap langkah manusia yang tertangkap oleh indera penglihatannya.

ANTAGONIS MAGERANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang