^16^

264 31 17
                                    

-Bayang-bayang kematian-


______________________________________________

Siluet kontan menyorot putus asa tanpa gairah hidup. Bibir mengering pucat lengkap dengan rambut lepek tak terawat. Pakaian kusut yang nampak lusuh membalut tubuh jangkungnya. Kaki tanpa alas, dan tubuh yang duduk terkulai lemah di atas marmer dalam mewahnya sebuah ruangan kamar berkelas.

Kesedihan, ketakutan, keputusasaan menyelimutinya hingga rasanya menguras habis seluruh air mata. Beralih ke bawah, di mana tangannya yang mengengam erat sebuah botol obat dengan Lebel yang tak jelas. Dapat dilihat dia seperti menimang-nimang suatu perkara yang tengah berputar dalam benaknya.

Beberapa menit berlalu tangannya terangkat pelan membawa botol itu menuju mulutnya. Dengan mantap ia menuangkan kasar isi botol tersebut yang lantas mengeluarkan seluruh isinya berupa belasan butir pil berukuran sedang berwarna putih. Pil lantas memenuhi mulutnya, namun membuatnya kesusahan ketika menelan.

Dengan tekad yang bulat ia edarkan matanya guna mencari air yang sekiranya sebagai pelicin pil ini agar dapat tertelan. Belum selesai pada maksudnya dirinya dikejutkan oleh gema tangis bayi yang terdengar nyaring memenuhi gendang telinga. Hingga membuatnya tanpa sadar mengalihkan atensinya pada asal suara.

Dia tertegun, iris legamnya menyorot sayu pada seorang bayi perempuan yang masih nampak begitu mungil.

Dengan mulut penuh pil yang belum sempat tertelan bibirnya memucat pasi lengkap dengan getaran membendung tangis yang kian segera meluruh. Dia alihkan wajahnya tak kuasa dengan maksud agar tatap pada niat awalnya. Namun ia kalah, dirinya kembali memusatkan atensinya pada bayi itu yang berstatus sebagai putrinya.

Seorang bayi yang baru genap berusia 2 minggu. Sambil terbatuk-batuk dirinya muntahkan semua butir pil di mulut. Berikutnya ia menghampiri bayi itu dengan langkahnya yang gontai. Retinanya memandang lekat dengan tangan yang beranjak menggapai si bayi untuk dirinya gendong.

"Maaf, maaf, maafkan papa" Tangisnya pecah tak kuasa menahan rasa sesak yang kian memenuhi relung dada. Penyesalan sekaligus rasa syukur yang ia panjatkan akan kebodohan yang dirinya telah perbuat.

Bodoh!

Brengsek!

Bajingan!

Sumpah serapah yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Binatang saja tau apa itu arti tanggung jawab dengan tetap mengasuh anak yang dirinya hasilkan. Namun ia? Kehilangan istri rupanya membuatnya juga kehilangan akal.

•••


Dia tersentak dari bunga tidur yang menghampiri. Dengan guyuran peluh yang mengaliri sebagian wajahnya membuat orang tau bahwa sebuah mimpi buruk telah menimpa. Dada memompa naik turun tidak berirama membuat tarikan napasnya tersendat tak beraturan.

Runi branjak bangun dari baringnya, ia mengedarkan netranya gelisah ke sekeliling kamar. Detik selanjutnya tangannya terulur memegang tenggorokannya yang terasa begitu sakit. Ia melirik ke nakas di sebelah ranjangnya bermaksud mendapatkan air.

Namun nihil, nakas itu hanya terisi sebuah jam weker yang tengah menunjukan waktunya pada pukul 5 pagi. Runi tersadar, rupanya dia baru tertidur selama 2 jam dari tempo kejadian tadi malam ia bersama Lant.

Selanjutnya ia lekas turun dari kasur lalu bergegas mengambil langkah segera menuju kamar mandi. Menyalakan kran wastafel lalu membasuh muka serta menengadah air dengan telapak tangannya untuk ia minum. Mengabaikan konsekuensi terkena diare bila melakukan itu.

Dengan tarikan napas yang belum juga membaik ia palingkan wajahnya menghadap cermin yang tengah memantulkan fisiknya. Sepersekian detik Runi bungkam menyelami lekuk wajah milik Chaca.

Irisnya menyorot sayu dengan bibir bergetar tak kuasa menahan rasa sesak yang kian menghantam. Wajah orang lain yang masih begitu terasa asing. Benaknya bertanya, siapa kiranya yang dapat dirinya salahkan. Runi luruh terkulai lemah, ia menekuk kakinya ke dada lalu menenggelamkan wajahnya di sana.

Detik setelahnya isak tangis lirihnya terdengar menjadi saksi bisu betapa lelahnya dia terhadap ini semua. Lelah dengan drama tanpa judul yang menimpanya ini. Terkadang ia tertekan, terkadang takut, bahkan kalut memikirkan dirinya yang telah menjadi sosok pengganti yang diliputi oleh bayang-bayang kematian.

"Ibuk"

"Runi mau pulang" bisiknya disela ratapan yang tercipta.

•••

Sebuah meja persegi menjadi tumpuan ke dua tangannya. Ia bungkam menatap kosong pada seorang guru di hadapannya yang tengah sibuk pada komputer di meja. Dan detak jam yang berirama menjadi musik lirih di kesunyian yang tercipta.

Menit berlalu guru itu mulai angkat bicara, menatap Runi yang masih membungkam tanpa suara. "Jadi gini. Alasan Ibu panggil kamu kemari untuk memberitahukan kalau jadwal MMO kamu April nanti, ya."

Tutur guru itu dengan seutas senyum ramahnya. Runi yang mendengarnya sontak mengernyitkan kening tak mengerti. Ia berkedip berulang seolah membutuhkan verivikasi lebih lanjut dari apa yang ia dengar.

"Maaf, tapi saya kurang faham Bu?" Cakap Runi.

"Kamu Ibu ikut sertakan ke ajang Matriks Mathematics Olympiad yang biasa sekolah kita ikuti" jelasnya tanpa senyum yang tertinggal.

MMO?

Mathematics?

Olympiad?

Sepertinya dia tau apa maksud dari wali kelasnya ini. Mengetahui hal itu tentu membuat wajah Runi sketika membatu terkejut. Bibirnya bahkan ikut terbuka menandakan betapa kagetnya ia terhadap pernyataan ini. Sepersekian detik ia merasa jantungnya behenti berdetak, nafasnya tercekat, dan lambungnya memberontak.

Mematung tak percaya Runi palingkan wajahnya, di sana jiwanya tengah tergoncang dasyat. Ia membatin keras terhadap kegilaan ini. Tidak! Itu tidak masuk akal. Runi kembali memusatkan atensinya pada guru dihadapannya. Membusungkan dada, menegakkan kepala, dan menajamkan mata. Ia berdiri bahkan tanpa sadar memukul keras meja dengan telapak tangannya.

Brakk

"Saya menolak keras!" Tegasnya bersamaan dengan gema bunyi gebrakan. Guru itu yang mendapat tindakan mengejutkan darinya tentu terlonjak kaget, bahkan kursi yang dirinya duduki pun mundur beberapa langkah ke belakang. Lengkap dengan ekspresi kaget alami yang tercipta.

____________________________________________

POV: setelah update draf yang mangkrak berbulan-bulan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

POV: setelah update draf yang mangkrak berbulan-bulan.

26Apr'23🧟

ANTAGONIS MAGERANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang