MAYA
"Act of Liability"○●○
"Hati-hati di jalan, Maya!"
Aku melambaikan tangan kepada teman kelompokku sebelum keluar dari pagar depan akademi. Bersandar di pinggir ukiran patung sebelah gerbang akademi, aku merogoh saku, menyalakan musik dengan volume sedikit lebih keras untuk meredan suara kendaraan yang melaju di jalan.
Sambil menarik napas dalam aku kembali berjalan, mengeratkan jaket dan topi rajutanku di tengah dinginnya DC. Bulir-bulir salju turun samar ke jalan, tidak memenuhi aspal tapi aku masih dapat melihat proses melelehnya.
Aku tidak tahu apa yang aku lakukan setelah semester ini. Pihak administrasi asrama sudah mempersiapkan kamar asrama baru untuk semester berikutnya. Aku tidak ingin lagi tinggal di asrama, tidak tanpa Theo.
Seluruh tata letak kamar asrama tersebut sama antara kamar satu dan lain. Di setiap pojokkan kamar, atau balkoni, atau ruang tamu, juga kamar tidur dan kamar mandi aku hanya dapat memikirkan Theo.
Setelah pertimbangan dengan kedua orang tuaku, aku memutuskan untuk menyewa apartemen, hanya untuk tiga tahun sampai lulus dari akademi. Sejujurnya hal ini memberatkan orang tuaku, dan aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan mereka karena telah menjagaku selama aku di akademi.
Apartemen yang baru ... aku akan pindah saat libur musim dingin dimulai, yang artinya aku punya dua minggu lagi dari hari ini.
Aku memikirkannya terlalu jauh—aku dan Theo. Tapi aku rasa kami sudah tahu bahwa waktu kami bersama akan segera berakhir. Theo semakin menjauh dariku. Setiap aku mengajaknya berbicara, dia hanya menjawab dengan satu atau dua kata sebelum keluar dari asrama, katanya harus bekerja jam ekstra di restoran untuk menambah riwayat mencari magangnya.
Tidak ada sentuhan lagi dari Theo sejak kami tidur bersama tiga minggu yang lalu. Meskipun DC sangat dingin, aku masih dapat merasakan tubuhku yang sangat gerah. Entah karena frustasi terpendam, atau hilangnya arah kesadaran setelah menemukan harta bernilai milik Theo.
Kadang aku merasa buruk. Aku selalu berkata kepadanya bahwa kami masih bisa berteman atau bertegur sapa setelah semua ini, tapi Theo bukan penggemar ideku ini. Lagi ... aku tidak tahu apa alasannya, tapi melihat Theo mengernyit saat memikirkan bahwa kami akan bertemu lagi setelah semester baru meninggalkan noda merah di dalam dada.
Aku mengambil kunci asrama yang ada di dalam tas, membuka pintunya pelan sambil menarik napas sedalam-dalamnya, menyiapkan diri agar tidak tenggelam setelah masuk ke dalam.
Aku melihat kumpulan boks yang memenuhi ruang tamu. Suara bergesekkan yang terarah dari dalam kamar Theo membuatku tepatung untuk beberapa waktu. Aku meraih gelas yang ada di lemari atas sebelum menyalakan wastafel, meneguk air tanpa sisa sebelum mengusap bibir.
Theo keluar dari kamar sambil membawa kumpulan buku tebal miliknya yang aku tahu penuh dengan buku masakan, literatur klasik, dan juga novel-novel misterinya. Aku tidak pernah membacanya, karena Theo merupakan seorang penutur cerita yang menakjubkan. Pria tersebut akan menceritakan seluruh plot dari novelnya kepadaku sampai aku tertidur di dalam pelukannya.
"Kau tidak ada kerja ekstra di restoran?" Aku bertanya, meletakkan gelas yang aku minum ke dalam wastafel dan mencucinya.
Aku tahu Theo tidak punya kerja ekstra, dia hanya ingin menghindar dariku, tidak memberiku kesempatan untuk mendengar penjelasannya mengenai hubungan kami yang harus berakhir setiap detik yang berlalu ini.
"Tidak, aku izin sehari untuk mengemas barang-barangku." Theo berjongkok di depan ruang tamu, memasukkan bukunya dengan sedikit kasar hingga mengeluarkan suara keras setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Visions of All the Things I Did [END]
Romance🏅 The Wattys 2022 Winner in Romance 🏅 'Ambassador's Pick Valentine' reading list by AmbassadorsID 2023 🏅 Editor Pick from Wattpad HQ March 2023 Kecelakaan tersebut mendobrak kotak pandora yang sebelumnya terkunci rapat di dalam diri mereka. Akhi...