17. Gideon : Broken Visions

680 84 4
                                    

GIDEON
"Broken Visions"

○●○

TW : assault, panic attack

Aku tidak menyangka bahwa hidupku akan berubah seperti ini. Aku memang tidak merasa ada yang berubah dalam aktivitas keseharianku, tapi jauh di dalam lubuk hati, aku merasa bahwa semua ini sangat membuatku ... berubah.

Saat fajar aku terbangun, menyadari bahwa posisi tidur Maya jauh lebih dekat denganku. Ia tidak memunggungiku, kami tidur saling berhadapan dan hanya dipisahkan siku yang menompa kepala. Wajahnya yang nampak damai membuatku hangat meskipun AC di dalam hotel ini membekukan seluruh ruangan.

Aku mungkin harus jujur dengan diriku sendiri. Apa semua yang dikatakan Savanah merupakan suatu kebenaran yang belum dapat aku hadapi? Mungkin ia benar, mungkin aku hanya takut untuk menjalin sebuah hubungan yang telah membuat diriku menghadapi memori piluh enam tahun yang lalu.

Ini saatnya aku mengatakan sejujurnya kepada Maya sebelum aku merusak segalanya. Tapi apa itu sebanding dengan konsekuensi yang aku hadapi saat mengatakan tiga kata tersebut kepada Maya.

Aku sangat menyukaimu.

Sangat pahit di bibir saat aku menggumamkannya. Celah-celah memori yang menusuk pikiran mengenai Becca membuatku sesak napas. Aku mencintai Becca—pernah mencintai Becca. Dia dulunya merupakan segalanya bagiku, tempat teramanku, bintang penunjuk arahku, sahabatku, serta rekan hidupku.

Lalu mataku akan terngiang dengan wajah Becca yang ada di atas tubuhku, menghantarkan tangannya pada pipi dan tubuhku berkali-kali. Matanya yang sayu dan merah membuatku menciut di sudut ruangan. Bau mulutnya seperti bir dan campuran alkohol lainnya, aku tidak tahu kenapa ia bisa mendapatkan minuman tersebut jika ia masih belum tepat umur.

Vas bunga tersebut masih membuatku terngiang-ngiang. Aku masih ingat warnanya, masih ingat bunga apa yang ada di dalamnya, masih ingat saat jari Becca terlipat sempurna meremas vas tersebut, seperti ia tahu apa yang ia lakukan sebelum vasnya mendarat pada perutku.

Biru dengan motif petak putih. Vas tersebut terbuat dari porselen. Kami mendapatkannya saat mengunjungi toko antik untuk membeli barang-barang dekorasi apartemen. Aku juga ingat bunganya. Bunga matahari yang sudah layu, beberapa kelopaknya yang berubah warna menjadi cokelat jatuh di bawahnya.

Aku mendapatkan bunga tersebut di toko bunga yang dijual di jalan tol saat musim semi. Tidak ada dari kami yang mencoba merawat atau menyiramnya. Bunga tersebut hanya dapat duduk manis menunggu giliran untuk diperhatikan oleh kami, tentu saja hal itu tidak berbuat baik.

Aku dapat melihat bunga tersebut jatuh ke lantai bersamaan dengan vas yang sudah pecah. Masih ada sisa air di dalamnya, warnanya keruh, mengalir menyebar ke lantai sebelum aku menutup mata.

Napasku semakin tidak karuan. Aku menepis selimut dari tubuh, mendaratkan kakiku pada karpet kamar hotel sambil mengelus lengan. Dadaku rasanya menciut lima ukuran, aku tidak dapat bernapas benar karena dadaku akan nyeri. Ada yang mengganjal di dalamnya, bukan perihal material organ seperti udara atau darah, melainkan memori antara aku dan Becca dalam kertas film mengikat dadaku dengan erat, dan aku tidak tahu cara menghentikannya.

Jadi aku berdiri sempoyongan, hampir tersandung karpet sebelum tanganku bersandar pada meja yang masih penuh dengan jajanan tertutup plastik. Aku meremas pinggir meja, menggelengkan kepala berkali-kali sambil memukul dada dengan putus asa.

Aku ingin bernapas kembali, karena sekarang rasanya aku tenggelam dalam lautan mimpi buruk mengenai kenangan yang tidak ingin aku ingat.

Kedua kakiku bergetar. Aku menempelkan punggungku pada dinding sambil menutup erat mata dan telinga. Aku tidak ingin bertemu dengan Becca, ia membawa kenangan buruk kembali bagiku.

Visions of All the Things I Did [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang