MAYA
"Warm Spring For Two Mending Hearts"○●○
Hari Rabu ini bukan hari Rabu biasa.
Aku serius.
Aku dapat mengecap rasa manis di lidah, lebih manis dari semua ribuan percobaan roti dan pastri yang aku buat di toko dan akademi.
Bukan hanya perkara rindu, aku juga menemukan diri berada di ujung untaian kalimat berantakkan yang tidak yakin dapat aku utarakan. Aku yakin dua bulan bukan waktu yang lama, 'kan?
Gideon masih harus bekerja saat natal dan pergantian tahun. Bukan penerbangan regional saja, melainkan penerbangan international juga.
Aku menghabiskan sisa natal dan tahun baru mengunci diri di dalam dapur komersial di toko rotiku ... atau paling tidak itu rencanaku sebelum ayah dan kedua ibuku datang menghabiskan waktu bersamaku di Seattle.
Setelah ... kau tahu ... pengakuanku kepada Gideon jika aku mencintainya dua bulan yang lalu, kami tidak punya waktu bersama karena keesokan harinya Gideon memang harus benar-benar bekerja. Aku menghabiskan waktu dua bulan menghubungi Gideon lewat face time.
Seperti yang aku katakan sebelumnya, karena Gideon harus berpindah-pindah negara, pria tersebut akan meneleponku seenaknya, kebanyakan waktu saat aku sedang tidur atau saat jam sibuk di toko roti sedang berlangsung. Aku dapat memahaminya, lagipula itu satu-satunya alat komunikasi yang dapat membuatku tidak gila karena menunggunya.
Hubungan kami masih berjalan dua bulan, tapi aku seperti mengenalnya selama satu dekade—setidaknya itu yang Gideon berusaha beritahu kepadaku saat pria tersebut meneleponku.
Aku masih malu ... sangat malu ... terlalu malu. Aku rasa harga diriku sudah berada di ujung tanduk. Aku masih dapat mengorek memori saat mengucapkan kalimat cinta kepada Gideon waktu itu. Setiap aku menutup mata, aku akan meringis malu sebelum wajahku memanas tiga puluh dua derajat.
Seperti tidak membantu, setiap kami berada di panggilan yang sama, Gideon sesekali menyelipkan ego besarnya mengenai pernyataanku saat itu. Aku rasa pria tersebut terlalu menikmati penderitaanku untuk mengungkapkan cinta kepadanya. Sangat tidak dipercaya.
Hari ini Gideon akan kembali ke Seattle. Seperti yang ada dalam bayang-bayang gundah dan keluh kesahku, aku menghabiskan waktu berjalan mondar-mandir di apartemen sambil menggigiti kuku jari tanganku yang berbekas warna akrilik. Aku tidak tahu apakah aku siap menemuinya lagi setelah kami hanya menghabiskan tujuh jam setelah berpacaran sebelum ia harus pergi.
Ada dua jam sebelum Gideon pulang. Aku sudah mengenakan pakaian lengkap dan juga sepatu platform baruku yang masih terselip stiker harga. Tas yang berisi kue pastri hangat favorit Gideon sudah aku cek beberapa kali, memastikan roti tersebut agar tidak rusak karena aku mungkin atau tidak mungkin salah memasukkan komposisi ke dalam adonannya.
Aku hanya terlalu gugup, aku harap ia memahaminya.
Setelah menghabiskan sepuluh menit berpacu di dalam apartemen, aku mengambil tas dan kunci mobilku sebelum berkendara ke bandara untuk menjemput Gideon.
Seattle masih terlalu dingin meskipun musim semi hampir tiba. Aku melihat deretan buket-buket bunga yang dijual dijalanan, kebanyakan untuk merayakan hari Valentine dua hari yang lalu.
Aku melirik jalanan beberapa kali, sesekali menggigit bibir untuk memilah apakah aku akan memberikan Gideon buket bunga atau tidak? Bagaimana jika itu terlalu berlebihan untuknya? Bagaimana jika Gideon merasa malu dengan pilot-pilot lainnya karena aku membawakan bunga untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Visions of All the Things I Did [END]
Romance🏅 The Wattys 2022 Winner in Romance 🏅 'Ambassador's Pick Valentine' reading list by AmbassadorsID 2023 🏅 Editor Pick from Wattpad HQ March 2023 Kecelakaan tersebut mendobrak kotak pandora yang sebelumnya terkunci rapat di dalam diri mereka. Akhi...