🛫 13 | Sederhana

85 4 0
                                    


Jumat kemarin Namara sudah pulang ke Yogyakarta. Kali ini mungkin dia tidak akan pulang. Kebetulan Ray yang sekarang bertolak ke Jakarta.

"Ambil cutilah, liburan."

"Ye, kalo ngajak liburan tuh jauh-jauh hari jangan mendadak. Susah tau ngajuin cuti."

"Ngajuin doang mah gampang, nggak relakan gajinya berkurang."

"Tau aja lo."

Ray, tahu kalau Namara sangatlah hemat. Bahkan uang jualannya tidak pernah sepeserpun digunakan untuk membeli barang-barang mahal meski tabungan dari gaji dan jualannya sebenarnya bisa untuk beli barang-barang branded. Anak-anak dikantornya juga banyak yang bertanya apa pernah gaji Namara digunakan karena dari awal kerja sampai sekarang tidak ada yang berubah meski tasnya dudah banyak yang terkupas kulitnya, sepatunya sudah berulang kali di benarkan di tukang sepatu, dan jam tangannya sudah terlihat kusam karena berwarna putih.

"Cari uang nggak mudah Ray."

"Tahu sih, tapi sekali-kali manjain dirilah. Gue beliin deh buat kado ulang tahun."

"Nggak usah Ray. Lagian gue juga mau nyicil rumah ya itung-itung biar mandiri lah."

"Gila lo, udah mau nyicil rumah aja. Kenapa si Ra, tunggu nanti aja kali suami lo yang beli rumah. Atau minta orang tua lo kan bisa, anak satu-satunya juga kalau minta pasti diturutin lah."

"Enak aja, nggak ada dalam sejarahnya Bapak ngasih barang cuma-cuma ya. Lagian kenapa sih kan bagus kalau udah bisa beli rumah sendiri. Ya, kalau punya suami beda cerita. Lagian nanti kalau nikah aku mau pisah harta dan harus ada surat perjanjian."

Ray hanya bisa melongo dengan apa yang barusan dibicarakan oleh Namara. Ia tidak menyangka kalau sudah sejauh itu sepupunya berpikir. Dalam kepalanya yang ia tahu hanyalah Namara yang masih kecil dan manja. Anak satu-satunya jelas yang paling disayang oleh kedua orang tuanya. Pikirnya Namara masih mengemis ingin ini dan itu tapi ternyata tidak. Ia lebih dewasa dari yang Ray pikirkan.

"Bahkan ya, udah ada rencana mau masukin anak sekolah dimana, nanti uang jajannya berapa, dan lain-lain."

"Gila!"

Namara hanya bisa tersenyum. "Mau ikut nggak?"

"Kemana?"

"Udah ikut aja. Itung-itung buat penghapus dosa. Dosamu kan banyak."

"Sontoloyo enak aja bilang dosaku banyak."

"Bawel, ayok!"

Kali ini bukan Pinokio melainkan Vernandez, Motor skuter matic berwarna hitam milik Namara sejak tahun pertama kuliah. Dia selalu membawa Namara kemanapun dan sejauh apapun bahkan sampai keluar kota. Kali ini Ray yang membonceng Namara.

Sampailah keduanya disebuah desa yang kumuh. Banyak sampah yang berhamburan. Baunya juga tidak tertahankan. Bayangkan saja banyak selokan yang tertutup oleh sampah. Bagian yang tidak tertutup juga berwarna hitam pekat.

"Mau ngapain sih? Kayanya petinggi negara kalau blusukan juga nggak segininya."

"Bawel banget sih daritadi. Udah ikutin aja kenapa sih. Jaga sikap, banyak yang lihat."

"Banyak yang lihat gimana? Sepi gini. Jangan ngadi-ngadi deh Nam. Ini kemana woy...... Tungguin!!"

Namara sudah melesat jauh kedepan tepatnya menembus ilalang yang tinggi dan menutupi jalanan. Gubuk kecil dan kumuh berdiri di lapangan yang luas dan penuh dengan sampah juga rumput serabutan. Anak-anak kecil berusia bawah lima tahun berlarian disana. Ketika melihat Namara semuanya memanggil Namara dengan ceria. Seperti sudah ditunggu kehadirannya.

"Selamat pagi, Adik-adik semuanya. Apa kabar?"

"Wah, Kak Nama akhirnya datang lagi. Kak Nama kita kangen tau sama kakak. Mau belajar lagi," ucap seorang anak.

"Iya Kak, udah lama nggak kesini ya. Pasti bekerja terus ya. Hayo ini siapa kak? Pacarnya ya?." Sahut anak lainnya.

"Kenalin adik-adik ini namanya Kak Ray, sepupu Kak Namara. Kenalan dulu ayok."

Mereka semua bersalaman dengan santun kepada Ray. Ray pun menyambut mereka dengan senang. Mungkin karena ini pengalaman baru juga buatnya. Setelah itu Namara kembali mengajar mereka seperti biasa. Belajar huruf, angka, serta membacakan cerita. Ketika anak-anak sedang sibuk dengan permainan yang dibawakan Namara, Ray mendekati Namara dan bertanya. "Jadi kerjaanya kalau nggak pulang ke Yogya kamu kesini?"

"Iya, seru tahu ketemu sama adik-adik. Bisa ngelihat mereka belajar. Mereka nggak seberuntung kita yang hidup dibawah atap dan bisa sekolah. Kaya gini aja udah bahagia banget bagi mereka. Kadang aku ngerasa bersalah kalau banyak ngeluh. Sederhana itu ternyata sederhana kalau kamu bisa memaknai hal-hal terkecil yang ada di sekitar kita."

"Nggak nyangka, aku kira kamu masih jadi Namara yang manja. Sebenarnya mungkin nggak manja sih cuma lebih tepatnya karena kedua orang tuamu kerja jadinya berusaha untuk menarik perhatian mereka aja. Sayangnya waktu cepat berlalu sekarang kamu harus tinggal jauh dari mereka."

"Aku berusaha untuk mencerna semuanya dari kecil sendirian. Makanya aku sering kesini sendirian kalo aku ngerasa kesepian. Mereka bisa menghibur aku Ray."

"Suatu saat nanti kamu akan dapatkan jodoh yang terbaik ya Ra. Kamu orang baik."

[ END ] Till Next Time, NamaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang