Muhammad Nizam Adrian, cowok yang selalu menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari. Dia adalah ketua geng di Jakarta, memang tidak terlalu terkenal, geng itu hanya dibuat sekedar berkumpul untuk para cowok yang mencari keramaian disaat rumahnya sepi.
Nizam adalah salah satunya, mungkin karena itulah alasan dia menerima keputusan papahnya yang ingin ia cepat-cepat menikah. Katanya, biar dia cepat berubah.
Nizam selalu suka dengan tantangan. Dia menerima hanya untuk bermain-main dengan label serius. Dia bisa bercerai jika ingin. Dan dia sadar kalau dia sangat brengsek.
"Nama Lo siapa?"
Zahra melirik sekilas. "Zahra."
"Gue Nizam."
"Udah tau."
"Umur gue?" tanya Nizam.
Zahra melirik sekilas. Karena tingginya hanya sebatas dada cowok itu, mungkin? Dia tidak bisa melihat wajahnya. Lagi pula jarak mereka juga sedikit jauh. "Kita belum kenal." Zahra mendengus.
"Ini makanya gue mau kenalan sama Lo," terang Nizam, seakan tahu bahwa Zahra adalah perempuan yang mudah untuk didekati.
"Gue gak minat."
Nizam menoleh, menatap perempuan itu dari samping. Dan saat itu juga, Zahra kembali memalingkan kepalanya.
"Masa digituin doang salting, gimana nanti kalo udah nikah sama gue? Kita bakal seranjang."
Mata Zahra terbelalak, dia menoleh cepat dan berhenti melangkah. "Jaga ya, omongan Lo," sentak Zahra tak percaya.
Alis Nizam terangkat. "Kenapa? Bener kan?"
"Lo harus jaga ucapan Lo Nizam, gue perempuan," kesal Zahra.
"Sorry." Nizam singkat tanpa rasa bersalah, niat ingin mendekati cewek itu justru membuatnya marah. "Lo mau gue kasih mahar apa? Berlian? Pulau? Atau saham?"
Zahra membisu, sontak Nizam mengangkat alis. "Apa mau tiga-tiganya?" Sedikit sombong dan penuh keyakinan bahwa penawarannya sangat menggiurkan bagi seorang perempuan yang sifatnya realistis.
Kali ini Zahra benar-benar tak yakin dengan pilihan papahnya yang akan menyuruh dia menikah dengan pria semacam Nizam. Karena tak ingin membuat ribut dan berlama-lama dengan cowok itu, "Dunia dan seisinya, puas lo!" Zahra langsung melangkahkan kakinya menjauhi Nizam.
"Tungguin woi!"
Zahra mendengus.
Zahra tetap berjalan cepat.
Namun Nizam mengejarnya. Hingga sampai di samping cewek itu, Nizam reflek memegang tangan Zahra, membuat mata Zahra kembali membola, tubuhnya berbalik lalu,
Plakkk...
Pipi Nizam terasa panas, Zahra menamparnya keras hingga membuat wajahnya menoleh kesamping. Zahra pun tak jauh beda sakitnya setelah menampar pipi Nizam, tangannya gemetar karena baru kali ini dia menyakiti seseorang.
"M-maaf." Mata Zahra berkaca-kaca.
Nizam membisu, usapan di pipinya berhenti dan amarah yang beberapa menit muncul kini hilang tergantikan rasa kasihan setelah melihat wajah Zahra yang akan menangis. Namun entah mengapa, semua ekspresi yang dikeluarkan oleh Zahra tak pernah gagal membuatnya terpana.
Cewek itu benar-benar cantik.
"Gue yang salah," ujar Nizam akhirnya.
Zahra menggeleng. Dia benar-benar merasa bersalah telah menampar Nizam keras. "Maaf Nizam."
KAMU SEDANG MEMBACA
True Princess.
Non-FictionSeperti mimpi, Zahra diterima menjadi salah satu siswa yang akan pergi untuk melakukan olimpiade di Tokyo Jepang. Gadis itu semakin terkenal disekolah. Pasalnya, selain otaknya yang pintar, wajah Zahra juga terpahat dengan sempurna. Sangat cantik. ...