Nizam sampai dirumah, setelah memasuki motornya di garasi, dia segera melangkah menuju pintu besar utama. Lalu membukanya perlahan, setelah itu diam, keningnya mengernyit saat mendengar suara televisi yang menyala.
Nizam sudah terlalu biasa jika dia pulang akan selalu disambut dengan keheningan dan kegelapan. Namun kini, ruangan tengah sangat terang, juga berisik.
Matanya melihat sosok papahnya yang tengah menonton, Nizam yang lagi-lagi sudah terbiasa jika pulang langsung ke kamarnya, kini tak memperdulikan papahnya. Namun baru saja menaiki dua anak tangga, suara papahnya terdengar keras, memanggilnya untuk segera menghampirinya.
Nizam diam tak bergerak, lalu menghela nafas dan berbalik menghampiri papahnya.
"Kenapa?" tanya Nizam tak ingin basa-basi.
Wira mendongak sekilas. "Duduk dulu."
Nizam mendengus, lalu memutuskan duduk di sofa singel agar lebih jauh dari papahnya. Setelah itu hanya suara televisi yang terdengar, Nizam tak berniat untuk memulai percakapan, dia sudah lupa caranya berbicara dengan orangtua, bahkan dia pun lupa kapan terakhir mereka berkomunikasi di ruang keluarga seperti ini.
Mungkin sejak mamahnya meninggal? Semenjak itu, papah menjadi orang yang paling kehilangan, dan yang paling merasa sakit karena kehilangan istrinya. Tidak pernah tidur dirumah, karena beralasan mengingat mendiang mamah. Dan papahnya tidak mengingat anaknya yang masih hidup dirumah besar itu.
"Nizam, papahnya Zahra sudah hubungi papah, katanya--"
"Nizam nolak perjodohan ini," potongnya.
Mata Wira membesar, dia menatap tajam anaknya. "Nizam! Apa-apaan kamu?!"
Nizam menatap datar papahnya. "Jelas kan? Nizam nolak ini. Karena Zahra pun sama."
Wira berusaha tenang, dia menghela nafas panjang lalu membuangnya perlahan. "Nizam, apa yang buat kamu tiba-tiba nolak ini?" tuturnya berusaha tidak membuat anaknya marah.
Nizam diam tak menjawab. Hal itu membuat Wira kembali membuang nafas kasar. "Dengar, papah udah percaya banget kamu mau berubah Zam. Kamu sudah besar, gak bisa terus-terusan hanya main gak jelas sama temen-temen kamu."
Ada jeda sejenak.
"Harusnya kamu tau, Zahra cewek baik, dia juga sangat pintar, kamu tinggal asah kemampuan kamu dan belajar bertanggungjawab sama Zahra untuk bisa melakukan apa yang kakek inginkan Zam."
"Nizam bisa belajar sendiri, pah," ujar Nizam malas.
"Kamu gak bisa apapun Nizam! Kamu udah besar, butuh tutor supaya kamu serius belajar perusahaan kakek."
Nizam menatap papahnya tajam. "Papah nyalahin aku sekarang karena belum bisa apa-apa? Kemana aja pah? Dulu saat aku minta papah jadi tutor Nizam, papah dimana?"
"Nizam," Wira menghela nafas berat. Dia berusaha meredakan emosinya yang selalu muncul. "Kakek ingin cucunya jadi penerusnya. Tapi sekarang, tante Vina selalu mendekati nenek untuk mengenalkan anaknya yang udah pintar mengurus perusahaan, dan sudah akan menikah dengan pacarnya."
"Nenek bisa aja bilang ke kakek kamu agar anak tante Vina aja yang jadi penerusnya. Kamu tau kan, tante Vina selalu begitu?"
Shit!
Nizam jadi gusar sendiri, di satu sisi dia harus menghargai gadis itu yang tak ingin perjodohan ini. Tapi di sisi lain, dia juga harus nurut sama papahnya. Lagi pula perjodohan bukan hanya untuk dia belajar, tapi juga syarat menjadi ahli waris kakeknya adalah menjadi seorang suami.
"Kasih Nizam waktu," ujarnya sebelum beranjak pergi meninggalkan papahnya.
***
Pagi ini, Zahra kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Bangun tidur, membersihkan kamar, buat sarapan, kasih makan pussy, mandi, lalu berangkat ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Princess.
Non-FictionSeperti mimpi, Zahra diterima menjadi salah satu siswa yang akan pergi untuk melakukan olimpiade di Tokyo Jepang. Gadis itu semakin terkenal disekolah. Pasalnya, selain otaknya yang pintar, wajah Zahra juga terpahat dengan sempurna. Sangat cantik. ...