~Jonathan~
Aku segera mengakhiri rapat penting yang berlangsung 1 jam yang lalu. Setelah Arfan mempersilahkanku pergi menuju ruangan pribadiku, aku segera menelepon Haris, seketaris pribadiku.
Aku meminta alamat rumah sakit tempat Nanda dirawat. Ya, setelah Lukman membawa Kesya ke rumah sakit, aku mengirim pesan untuk Haris memintanya untuk mengikuti Lukman.
Mulai dulu aku sudah tahu kalau Lukman bekerja di perusahaan yang sama dengan Arfan. Namun sekalipun informanku tidak pernah menemukan jejak Nanda di perusahaan ini.
Setelah mendapat info lokasi rumah sakit tempat Kesya dirawat, aku segera pergi. Dari jauh aku mengamati saat Nanda dirawat sampai dia diantar pulang ke rumah oleh Lukman.
Aku juga menyaksikan dalam diam saat bunga dan kertas ucapan maafku dibuang begitu saja di tong sampah. Aku hanya diam menyaksikan semua itu meski aku tahu sesuatu yang retak sudah terjadi di hatiku.
Aku masih berdiam diri melihat Kesya yang bergegas masuk ke rumahnya setelah membuang bunga dariku. Hingga handphone-ku berbunyi. Aku melihat handphone-ku dan ternyata Haris yang menelepon. Haris memberi informasi yang penting untukku mengenai Nanda yang membuatku terpaku di tempatku berdiri sekarang.
"Baiklah. Sekarang temui aku di Apartemen. Aku segera kesana." Jawabku sebagai penutup telepon dari Haris.
Aku segera mengendarai mobil menuju apartemenku. Haris sudah seperti saudara bagiku. Meski dia hanya menjadi asisten dan seketaris untukku. Kami sudah berteman dari awal kuliah. Meski bukan 1 kelas. Begitupun dengan Arfan selain kami menjadi mitra bisnis, kami juga bersahabat sekitar 7 tahun lalu. Arfan juga senior di kampusku.
Mobil yang kukendarai sudah terparkir rapi di halaman apartemen. Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di ruang tengah. Haris sudah menyiapkan beberapa berkas dan duduk menungguku di salah satu sofa ruangan ini. Aku duduk disamping Haris lalu memeriksa berkas penting tentang Nanda.
Ternyata selama ini, Nanda membesarkan anak-anak yang kuyakini adalah anakku di Amerika, tepatnya di Manhattan. Nanda juga sempat menikah dengan Samuel Rascha dan bercerai setelah setahun lebih menikah. Fakta ini benar-benar mengejutkanku. Lebih mengejutkan lagi hubungan mereka sangat baik sampai sekarang, padahal Samuel sudah menikah lagi. Kalau aku mencocokkan umur anak-anak Nanda dengan waktu hubunganku dengannya sebenarnya cocok, hanya aku memerlukan Tes DNA untuk membuktikan kebenarannya.
Benar atau tidaknya kalau anak Nanda adalah anakku, aku tetap akan membuatnya menikah denganku. Aku memang egois bahkan kalau untuk mendapatkannya aku harus menjadi seorang bajingan, akan aku lakukan. Aku tidak bisa melepaskannya lagi.
"Haris, aku ingin sekali melakukan Tes DNA dengan anaknya Nanda, tapi kalau aku menemui dia sekarang, aku yakin dia pasti menghindariku. Apa kau punya saran?"
"Kenapa nggak kamu coba mengunjungi sekolah TK anak Nanda? Siapa tahu kamu bisa ketemu langsung dengan anak itu, tanpa bertemu dengan mamanya?"
"Kau benar! Bisa kau atur jadwalku besok agar bisa mengunjungi sekolahnya, dan jangan lupa cari data mengenai anak-anak Nanda." Ucapku sambil membuka amplop dan foto Nanda, anak-anaknya dan Samuel juga.Deg....
Foto pertama yang kulihat adalah foto anak-anak Nanda, wajah mereka sangat mirip dengan wajahku saat berusia 4 tahun. Keyakinanku semakin bertambah saat melihat foto mereka. Rasa sesak di hatiku semakin besar. Bagaimana caranya aku bisa menebus semua kesalahanku pada Nanda dan anak-anak? Tuhan, maafkan aku! Kali ini aku akan bersikap egois lagi untuk menjadikan Nanda istriku, bukan semata-mata karena kami sudah memiliki anak, tapi karena aku ingin menjadi suami dan ayah yang baik untuk mereka. Sekali ini saja, maafkan aku! Harapku dalam hati.
Nama mereka Aaron Rekxy Indrawan dan Axcel Rekxy Indrawan. Aku sunggug tak sabar untuk bertemu mereka. Foto kedua yang aku lihat adalah foto Nanda bersama Samuel. Cemburu? Sudah pasti. Tapi syukurlah sekarang mereka tidak terikat pernikahan. Aku akan menyerah mendapatkan Nanda, jika dia sudah memiliki pendamping hidup. Selama dia belum menikah dengan orang lain, aku akan terus berjuang untuk mendapatkannya.
"Besok kau bisa ke sekolah mereka jam 9 pagi!" Ucap Haris setelah melihat jadwalku besok.
"Oke. Thank's Ris!"
"Sama-sama Joe!"
Haris berpamitan pulang padaku. Aku segera menuju kamar untuk istrirahat.Keesokan harinya tepat jam 9 pagi, aku sudah berada di depan TK Aaron dan Axcel. Langkah awal, aku hanya ingin menemui mereka. Untuk tes DNA, aku serahkan pada Haris, kebetulan salah satu guru di sekolah ini adalah sepupu Haris. Entah bagaimana caranya sepupu Haris mau membantu mendapatkan beberapa potongan rambut si kembar untuk keperluan Tes DNA. Aku sangat berterima kasih akan hal itu.
Haris juga mengatakan kalau hari ini, sekolah TK si kembar pulang cepat, karena dewan guru mengadakan rapat. 15 menit aku menunggu di dalam mobil. Tiba-tiba, Aaron dan Axcel sudah keluar dari gerbang. Sepertinya mereka sedang menunggu jemputan. Aku tidak bisa membedakan mereka kalau dari jauh. Tapi menurut informasi dari Haris, Aaron lebih banyak bicara daripada Axcel.
Aku langsung menuju mereka yang sedang duduk di depan gerbang. Dadaku sesak melihat mereka, rasanya ingin memeluk mereka tapi aku belum bisa. Semakin cepat langkah kakiku menuju mereka, semakin tak karuan apa yang kurasa. Tepat di depan mereka, aku berdiri.
"Ehm...hai boys! Sedang apa disini?" Tanyaku dengan tersenyum ramah.
Mereka memandangku bingung. Berulang kali mengerjapkan mata, wajah mereka sangat mirip denganku saat kecil. Bedanya kalau dulu aku kurus, mereka gemuk. Pipi mereka chubby. Aku bersyukur Nanda merawat mereka dengan sangat baik.
"Om siapa?" Tanya salah satu dari mereka.
Mendengar panggilan om untukku, rasa sedih melekat erat dihatiku harusnya kalian memanggilku Papa."Ehm...om temannya Bu Maya, guru kalian. Om nunggu Bu Maya rapat makanya nunggu disini. Murid lain sudah dijemput, kalian kok belum pulang?" Tanyaku penasaran.
"Kami nunggu Mama jemput, tapi tadi kata Mama, Mama sedikit terlambat!" Kata Axcel.
"Oh begitu, Om boleh duduk disamping kalian? Boleh?"
"Nggak boleh!" Ucap mereka bersamaan.
"Kok nggak boleh?"
"Kata Mama, kami nggak boleh dekat sama orang asing, nanti kami diculik!" Kata Aaron."Hai boys! Om bukan orang asing. Om ini teman guru kalian. Om nggak ada niat jahat kok! Lagian kan ada satpam dan penjaga pagar disini mungkin Om culik kalian?" Jawabku mengelaskan.
Mereka mengangguk pelan mendengar ucapanku. Semoga saja mereka mengerti.
"Ya udah deh, Om boleh duduk!" Kata Aaron.
"Nama Om siapa?" Tanya Axcel.
"Nama Om, Jonathan! Kalian bisa panggil Om Nathan! Kalau nama kalian?""Namaku Axcel! Kalau dia Aaron!" Jawab Axcel sambil menunjuk Aaron.
"Nama yang bagus!" Gumamku pelan.
"Om kenapa nggak nunggu di dalam aja sih?" Tanya Aaron.
"Nggak seru kalau nunggu didalam, apalagi nunggu orang rapat. Mending disini ngobrol sama kalian."
"Aaron lihat deh muka Om Nathan kok mirip kita?"Deg...
Sebelum aku menjawab pertanyaan Axcel, tiba-tiba sebuah mobil terparkir di depan kami.
"Mama!" Teriak Aaron.
Nanda keluar dari mobil, saat mata kami bertemu pandang, aku melihat binar kebencian di matanya. Seandainya membunuh bisa melalui tatapan, aku yakin aku akan mati sekarang karena tatapannya.TBC