•11• JANTUNG MLEYOT 1

10 1 0
                                    

"Serah dah. Yang penting ditraktir Yahahah.." Daffa.

----

Berpindah dari Marcel, kini terlihat seorang gadis yang wajahnya sangat pasrah sedang duduk di kursi taman sekolah bersama pria sebaya  dengannya.

"Berapa lama lagi sihh... Nunggu papamu datang?! Kita di sini udah setengah jam loh---" omelnya.

"Sabar. Bentar lagi dateng pasti." Jawab pria itu dengan santai tanpa memperdulikan teman gadis disampingnya.

"Sibir. Bintir ligi diting pisti." Cibirnya menanggapi teman prianya.

Yang dicibir bukannya minta maaf atau merasa bersalah, melainkan acuh dan terus sibuk mondar-mandir mencari papanya.

Setelah 1 jam berlalu, seorang pria paruh baya datang menghampiri mereka berdua dengan membawa kertas Manila putih yang berisi tugas kelompok penting.

Melihat kedatangan pria paruh baya yang menurutnya tidak asing lagi, Ceisya bangun dari duduknya.

"Papa kemana aja sih? Lama banget deh. Temenku sampai ngomel-ngomel gak jelas nih." Marsel dengan melirik Ceisya.

Yang dilirik hanya menahan gumpalan emosi dibatinnya. Jika saja tidak ada papanya Marsel, ia pasti sudah menempeleng kepala Marsel. Hanya saja, ia harus tetap terlihat anggun dan ramah supaya image baiknya tidak luntur. Azeekkk, ntar kalau luntur jadi kek kenangan masa laluu--

"Maaf ya, Papa tadi harus tanda tangan berkas penting. Biasa holang sibukk." Jawab Pak Made, Papa dari Marsel.

"Tidak apa-apa kok Pak." Ceisya dengan senyum yang sangat dipaksakan.

"Hilih Papa mah... Holang sibuk apanya, daritadi aja balas pesan dari aku terus." Ucap Marsel datar.

"Iya kan Papa memprioritaskan anak."

"Hmm... Yaudah ya Pa, Marsel ke kelas dulu. Assalamu'alaikum." Pamitnya sambil mencium tangan Papanya. Lalu diikuti dengan Ceisya.

Diperjalanan menuju kelas, tidak ada yang memulai pembicaraan sama sekali. Hening!! Itulah yang menggambarkan keadaan mereka saat ini. Sungguh suasananya yang menyebalkan—begitu pikir Ceisya.

"Ehmm!" Marsel mencoba mencairkan suasana ini.

Mendengar itu, Ceisya hanya melirik tipis. Tak gentar untuk mencairkan suasana, Marsel mencoba sengaja menabrakkan diri ke tembok depannya.

BRUUUWAKKK!!!

Marsel pun terpental tidak jauh dari tembok. Ceisya yang melihat itu langsung terkejut dan panik. Ia segera menghampiri Marsel yang jatuh terduduk.

"HEHHH LU GIMANA SIH?!! UDAH TAU TEMBOK SEGEDE ITU BUKANNYA BELOK KANAN , MALAH TERUS LURUS!"

"GIMANA?? GIMANA?? ADA YANG SAKIT NGGAK??ATAU BAGIAN MANA YANG SAKIT??! ATAU KITA LANGSUNG KE UKS AJA??! ATAU GIMANA INI?!" Panik Ceisya.

"Udahh... Enggak apa-apa. Bentar lagi sembuh juga kok." Santai Marsel.

Sedangkan mereka berdua, kini berada di tengah-tengah gerombolan insan-insan yang kepo.

"Udah ahk, yuk ke kelas aja. Pengap ini." Kata Marsel sambil mencoba berdiri.

Namun nihil, kakinya kini terasa nyeri saat dicoba untuk berdiri dan dijalankan. Sebenarnya Marsel sangat bahagia karena Ceisya yang khawatir dan panik, namun di sisi lain ia juga merenungi nasibnya yang malah menjadi sakit asli. Sungguh, keberuntungan kali ini tidak memihak pada Marsel.

Teman Rasa PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang