Chapter 15

358 48 18
                                    

Mereka berhenti di depan Saint Michael, sebuah gereja bergaya gotik yang memiliki dua menara lonceng tinggi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka berhenti di depan Saint Michael, sebuah gereja bergaya gotik yang memiliki dua menara lonceng tinggi. Rute menuju tempat ini melewati jalur ke arah perbukitan dan menyusuri jalan raya naik turun yang sepi. Halamannya luas, sunyi dan suram, hanya diterangi pendar lampu taman. Zhang Qiling menatap bingung, pohon-pohon di halaman terlihat misterius dan melahirkan bayang-bayang gelap dan dingin.

"Kita sudah sampai," Wu Xie tersenyum singkat, membuka seatbelt.

"Kenapa gereja ini?" tanya Zhang Qiling, tidak paham kenapa Wu Xie bertekad mencapai gereja terpencil saat masih ada yang jauh lebih dekat di keramaian kota.

Jawaban Wu Xie singkat saja. "Karena di sini sepi. Aku menyukainya."

Sederhana. Zhang Qiling tidak tahu bahwa Wu Xie masih memiliki selera melankolis semacam ini. Tapi rupanya pemuda itu melupakan sesuatu.

"Kau bilang akan menjelaskan apa tujuanmu sambil kita--" ia menahan sisa kalimat di ujung lidah.

Mata bening Wu Xie melebar sekilas, ia menyadari bahwa ia diingatkan akan sesuatu. Seperti ia memiliki utang yang harus dibayar.

"Ah ya, aku katakan bahwa kita akan berciuman di jalan. Tapi--- aku sempat melupakannya tadi. Bagaimana kalau sekarang? Lebih baik terlambat dari pada tidak bukan?" Ia menutup ocehannya dengan mendaratkan satu ciuman di bibir Zhang Qiling yang tidak siap, dan hanya menatap kosong pada aksi Wu Xie yang tak terduga.

Setelah ciuman singkat itu berakhir, Wu Xie menjawab santai.

"Aku ingin berdoa."

Zhang Qiling ingin memukul kepalanya sendiri, bagaimana ia bisa tidak terpikirkan jawaban itu? Entah mengapa setiap di dekat Wu Xie, otaknya seringkali menjadi tumpul dan karatan.

"Ayo!" Wu Xie melangkah ke rerumputan yang terpangkas rapi di halaman.

Mereka berjalan ke dalam gereja dan Wu Xie duduk di deretan paling depan bangku kayu, menunduk dalam posisi berdoa. Di belakangnya, Zhang Qiling bersandar di dinding kaca patri berwarna-warni yang menceritakan kisah-kisah dalam alkitab, melihat patung-patung kuno dan merasakan rasa syukur yang sama. Ada perasaan damai melihat jari-jari Wu Xie yang diukir halus dan terjalin di depan wajah, ekspresinya rumit dan sulit dibaca, dan Zhang Qiling tidak bisa menahan diri untuk tidak terharu sekaligus bingung.

Setidaknya manusia memiliki hal-hal indah ini, ia berkata dalam hati. 

Kebaikan seperti ini. Meskipun dia terkadang nakal dan urakan.

Tapi tidak ada yang alami tampak indah bagi Wu Xie. Dia membuka mata setelah lima menit, menoleh pada Zhang Qiling dan bertanya, "Kau tidak berdoa?"

"Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan."

Wu Xie memiringkan wajah, tidak berkata lagi. Dia kembali menatap ke altar. Pemandangan remang-remang dalam getar cahaya dari beberapa lilin yang menyala di seluruh ruangan begitu menenangkan dan bisa membuat siapa pun gemetar dan menangis. Bahkan tanpa diiringi dengan musik.

𝐅𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang