Derap langkah Anne terdengar agak terburu-buru. Tak sengaja menabrak beberapa pundak orang. Anne terus mengejar eksistensi Veenan. Lelaki itu cepat sekali seperti cheetah yang kelaparan mengejar mangsa. Anne sampai tersengal-sengal. Melewati lorong-lorong rumah sakit itu. Anne tak tahu siapa yang hendak ditemui Veenan, tapi sepertinya orang yang sangat penting untuk lelaki itu?
BRAK. NEK!
Anne berhenti agak jauh tatkala dia melihat Veenan membanting pintu salah satu ruangan sambil berteriak.
Nek? Nenek? Dengan langkah yang pelan tapi pasti, Anne bergerak agar lebih dekat ke ruang itu. Dia menarik sedikit celah pintu. Anne tertegun di tempat.
Pandangan Anne terpaku ke sosok di atas ranjang. Seorang nenek tua yang berbaring sedang tersenyum dengan Veenan sembari mengusap surainya.
"Nenek gak papa, tadi itu cuma lupa minum obat."
Veenan menggeleng, mengangkat tangan nenek, dia letakkan di pipinya sembari masih terisak.
"Veenan kan udah bilang ke nenek, jangan lupa minum obat."
"Iya Veenan—eh, apa dia temanmu?"
Nenek mengangkat kepala, menatap presensi Anne di ambang pintu.Sekon itu, Veenan menoleh, tapi dia bukannya bersuara, malah dokter di sampingnya yang bersuara. "Anne, ngapain di sini?"
Veenan mendongak pada dokternya nenek. "Dokter Naren kenal?" Tanya Veenan penasaran.
Naren anggukan kepala. "Dia adik kandung saya. Yang sering saya ceritain." Ungkap Naren.
Anne masih diam, sedang netranya Veenan membelalak. Tatapan telak tertuju pada Anne. Namun, seketika dia dibuat semakin terkesiap dikala hidungnya Anne mulai keluar darah.
Pada detik itu, Naren melangkahkan kakinya lebar ke arah adiknya.
"Dek, astaga. Kamu mimisan, kamu tadi lari-larian ya?" Naren pun segera bawa Anne keluar dari sana.
Impresi Veenan masih berkelana ke sana dan ke mari. Menolak percaya bahwa adik dari dokter yang seperti rumah baginya ternyata Anne. Anne, cewek itu? Cewek hyperaktif yang hobi menganggunya?
"Veen, Ve " Nenek buyarkan lamunan Veenan sehingga sang empu segera kembali palingkan pandangan.
Veenan menggaruk alis. "Ya kenapa nenek?"
Nenek menatap sayu. "Kapan nenek pulang Vee? Nenek gak betah di sini tahu."
Sedang di sisi lain, Anne duduk di tepian ranjang dengan kakak yang ada didepan Anne; membersihkan darah dihidungnya.
"Kamu lari? Dek, ICD kamu baru dipasang bulan lalu loh. Jangan ngawur."
Anne masih terdiam, dia kepikiran soal Veenan. "Kak, tadi neneknya Veenan?" Dia menyelaraskan netra menatap kakaknya. Seakan-akan dia meminta jawaban secara mendetail perihal Veenan. Apa? Bagaimana? Kenapa? Kehidupan Veenan sangat tertutup ketimbang teman psikologi Anne yang lain.
Sekarang tiba-tiba Anne dihadapkan pada Veenan serta sisi rapuh yang terlihat saat dia terisak mencium tangan neneknya tadi.
Naren mendesah pelan, "Kamu suka banget ngalihin topik."
"Iya kak maaf. Anne tadi lari-lari itu karena—
"Veenan?" Tanya Naren menyela lalu diangguki oleh Anne. "Obatnya kamu bawa?" Mengambil tas Anne kontan merogohnya mengambil botol kecil berisi pil. Naren mengangkat tangan Anne. Telapak tangan dihadapkan ke atas lantas Naren menuangkan satu pil.
"Minum dulu. Baru kaka ceritain soal Veenan."
Anne mengangguk, langsung minum obat itu tanpa air. Dia meneguk butir tersebut susah payah. Memang obat yang diberikan Naren tadi harus dia minum tanpa air. Kadangkala Anne sering tersangkut. Belum lagi pahit yang seakan-akan sudah bersahabat dengan lidahnya.