"Yakin udah mendingan?" Narendra bertanya ke Anne disebelahnya. Ya, anak papa mama paling bontot itu memang bebal dinasehatin. Sudah diminta agar tetap rawat inap, tapi memaksa pulang. Dan sudah pasti akhirnya mengotot ingin berangkat kuliah.
Anne melepas sabuk pengamannya, dia mengacungkan jempol. "Iya kak, udah seminggu aku absen, berapa sks itu yang terbuang sia-sia. Belum lagi bulan-bulan lalu aku sering gak masuk."
Sang kakak hanya bisa gelengkan kepala mendengar tanggapannya adiknya. "Dek obatnya jangan lupa diminum, terus,"
"Terus detektor jangan sampai lupa dicek berkala." Anne menyela sang kakak. Dia mengusap tangan kekar lelaki berlesung pipit itu. "Percaya ke Anne ya? Anne selalu bisa melewati enam bulan yang entah ke berapa. Beberapa bulan yang akan datang, Anne pasti bertahan lagi kok."
Anne menarik senyumnya walaupun dalam hati Anne ingin meledak lihat tangisan kak Naren.
Sesi itu diakhiri dengan Naren dan Anne yang saling berpelukan sontak pada detik setelahnya, Anne keluar dari mobil melambai pada kakaknya yang akan berangkat ke rumah sakit.
Dia menghela nafas berat sebelum masuk ke gedung psikologi."BESTIE!" Suara Leona membuat langkah Anne terhenti. Dia menoleh dan langsung dirangkul oleh Leona.
Gadis itu mengecup pipi Anne. "Huh, gue nyamperin lo eh udah berangkat sama kak Naren. Sebel deh." Gerutu Sonya seraya keduanya melangkah ke kelas.
Mulut Anne terbuka, dia mencubit Leona. "Gue udah nelfon lo tadi, lo aja yang nggak angkat."
Leona menyerngit, "Iyakah? Ampun paketan gue habis." Terkekeh cukup keras.
Mereka sampai dikelas cukup awal dan mendapat beberapa sambutan dari teman-teman lain. Anne tidak mengerti, padahal setahunya Anne tidak ada yang tahu perihal penyakit mematikannya. Apa sudah tersebar kalau dia anak penyakitan?
"Anne, lo tipes lama amat sih, kelas sepi tahu kalau nggak ada lo." Ucap Elisa. "Mana nggak boleh dijenguk lagi."
Anne mendongak pada Leona, sang empu mengerling menandakan jika sahabatnya itu pasti telah lindungi rahasianya dengan alibi yang tidak ada habisnya. Leona memang yang terbaik!
Pandangannya Anne mengedar saat dia tidak mendapati eksistensi sang pujaan hati. Siapa lagi kalau bukan Veenan Dominic?
Namun...
Ceklek. Anne menoleh, membeku ditempat saat dia melihat Veenan masuk ke kelas.
Mulut Anne terbuka, jantungnya itu serasa mau berhenti. Bukan karena penyakitnya, tetapi karena hari ini itu Veenan kelihatan semakin tampan. Bukan, bukan maksud Anne kalau Veenan hari-hari sebelum ini jelek, tapi Veenan detik ini berkali-kali lipat ganteng.
Veenan mendongak saat menyadari dia berada satu garis lurus dengan Anne yang berdiri menghalangi jalan menuju kursinya. Lelaki itu naikkan alisnya. "Lo, ngapain berdiri di sini?"