Veenan menghirup vape-nya kontan menghembuskan kepulan asap dari mulut dan hidung. Aroma manis dari kepulan itu menguar—menggelitiki hidungnya. Itu hanya perumpamaan, tapi memang dua bulan ini semenjak kepergian Anne, Veenan menjadikan vape pelampiasan. Awalnya dia tak pernah mengira, tapi dulu saat lihat pelanggan cafe pakai Vape, Veenan terbesit sesekali mencoba.
Bukan berarti dia menjadi nakal, dia hanya butuh mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang berat.
Tidak lama, Veenan menyesap kopi hitamnya setelah meletakkan vape di atas kursi kayu. Kemudian dirinya menyangga kepala dengan tangan, menatap kanvasnya yang setengah terisi. Dia mengambil palet cat lukis yang menganggur dimeja kemudian mengangkat kuasnya. Melanjutkan lukisannya.
Anne is the most beautiful object that Veenan has ever seen and he loves painting her on his canvas.
Dengan lihai tangan Veenan Dominic menggoreskan ujung kuasnya itu ke atas kanvas. Melanjutkan lukisannya guna diselesaikan. Sorot mata milik Veenan menyendu diiringi satu tetes air mata yang membasahi pipi. Pria itu merasakan tangannya bergetar.
Veenan lempar kuasnya ke dinding. segera menekan dadanya kuat-kuat.
Dia merindukan Anne, sangat rindu sampai ke tulang rusuk. Rasanya dia laksana menjelma menjadi raga tak bernyawa tanpa kehadirannya Anne di sisinya.I miss you Ne, it felt like I drowned in the sea; snared so deep, without sunlight.
Tok...Tok...
"Veenan, ada yang cari kamu."
Pria itu mendongak, menatap lagi pada kanvasnya sebelum beranjak dari kursi tinggi itu dan berbalik ke arah pintu. Veenan membuka pintu dan tersenyum pada nenek.
"Siapa nek?"
"Di depan Veen." Kata nenek seraya menunjuk halaman. Veenan cepat cepat melepas apron kain warna cream yang dirinya gunakan untuk melindungi baju dari noda cat lukis.
Menyampirkan di stand hanger lalu melangkah keluar ruang lukis. Netra Veenan memicing dari ruang tamu melihat ke depan sebelum dirinya membelalak.
"Dokter Naren," Veenan melangkah cepat. Menghampiri esksitensi pria yang berdiri disamping pintu mobil pajero warna putih itu. Dada Veenan naik turun memeluk dokter Veenan.
"Dua bulan setengah dok, tanpa ada kabar." Melepas pelukan, Veenan lalu bergergas bertanya soal Anne.
"Dok, Anne gimana kabarnya? Dia nggak balas pesan saya. Nomornya mati, dokter Naren juga nggak bisa saya hubungi."
Naren menunduk, mengulum bibir seraya mengepalkan tangan guna menahan tangisannya.
"Maafkan saya Veenan, tapi Anne sekarang ada,"
"Hai," Eksistensi Anne keluar dari sisi sebaliknya.
"Di sini." Naren menoleh, menatap adiknya yang keluar mobil. "Maafin saya nggak balas pesan kam—
Pria bersetelan rapi itu mendengus saat dua kali kalimatnya terpenggal. Yang satu oleh Anne dan sekarang Veenan Dominic yang langsung saja melewatinya, berhambur memeluk Anne.
Veenan mendekap gadis itu sangat erat bagai tidak ada hari esok serta Veenan yang laksana tidak akan lagi melepas pelukan itu. Dia perlahan menangis, bahunya bergetar sedang Anne mengusap-usap punggungnya Veenan.
"Kenapa kamu nangis, apa kamu sedih lihat aku balik?" Tanya Anne sembari terkekeh.
Mengendorkan pelukan, Veenan menatap sendu gadisnya. "Rotasi hidupku kayak diberhentiin secara paksa tanpa kamu, Anne." Lirihnya Veenan.
Tawa Anne mengudara, dia rapikan rambut Veenan yang memanjang.
Semakin tampan walaupun sedikit berantakan terkena angin. "Tapi aku sekarang di sini. Sama kamu."