Ciye yang udah jadian. Pajak jadian dong.
Leona dan Jinan menggoda Anne beserta Veenan yang keluar kelas bersamaan. Kedua orang itu sampai jadi topik perbincangan mahasiswa psikologi. Gimana lagi? Orang yang paling ganteng dan cantik di jurusan itu berpacaran. Pastilah membuat iri seisi kampus. Belum lagi si Veenan dengan sisi romantisnya pada Anne membuat orang-orang semakin tak bisa tidak menjerit.
Seperti contohnya setiap istirahat, mereka berdua ke kantin setelah itu makan di taman berdua dan mampir keperpustakaan berdua—lalu belajar berdua.
"Pajak jadian apa sih," Anne berucap, dia mencubit Leona yang berjalan bersama Jinan sedangkan dia sama Veenan. Dirangkul ala-ala pasangan Korea yang romantis.
Veenan terkekeh, mengasak rambut Anne. Sedang Jinan dan Leona yang melihat terkekeh geli.
Mereka berpisah di parkiran, Leona masuk ke mobil Jinan. Sedangkan Veenan menoleh pada Anne.
"Andai aku punya mobil. Jadi kamu enggak kepanasan."
Anne menggelendot tangan Veenan. Dia mencubit hidung bangir lelaki itu kemudian terkekeh, "Aku lebih suka naik bus sama kamu atau enggak naik si manis." Dia menunjuk pada motor vespa milik Veenan. Anne itu sedari dulu tidak pernah naik motor.
Biasalah mama sama papa apalagi kak Naren manjain dia. Maka Anne senang sekali setiap kali dibonceng Veenan pakai motornya.
Mendengar si manis disebut alias vespa kesayangannya yang Veenan bawa setelah jadian sama Anne. Ya supaya mereka tidak perlu jalan ke halte bus yang jauh. Kasihan Anne kalau pikir Veenan.
Oleh karena itu, Veenan membawa vespa miliknya yang sering dia bawa kerja ke kafe.
Veenan mengambil helm kemudian memakaikannya pada Anne, lantas dia memakai miliknya sendiri.
"Pakai helm buat?" Tanya Veenan.
"Keselamatan. Hihi, tapi aku setiap hari mah nggak selamat. Soalnya ya kamu sweet banget." Anne naik ke jok belakang sedangkan Veenan di depan tersenyum. Dia menarik hasta Anne untuk melingkar diperut.
Veenan berujar, "Pegangan, supaya tambah selamat." Kekehnya.
"Ih. Apaan sih." Anne mendekapnya dari belakang.
Keduanya melempar tawa, sebelum Veenan meng-starter motornya itu — membawa si manis serta malaikat cantik keluar dari parkiran gedung psikologi.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak bisa diam. Berceloteh ke sana dan ke mari atau sesekali Anne mencubit gemas lemak pipi Veenan.
"Mampir beli bakso yuk."
"Hah beli apa?" Veenan dekatkan kepala mundur pada Anne. Maklum angin membuat suara Anne tidak tertangkap dengan jelas.
"B-A-K-S-O" Eja Anne tepat dikoklea Veenan. Dia meletakkan kepalanya di atas pundak Veenan setelah sang empu setuju mampir beli bakso dulu di tempat favorit mereka baru-baru ini.
Delapan menit setelahnya, Veenan dan Anne sampai di kedai baksonya mang Ujang. Anne turun duluan lalu melepas helm. Sedangkan Veenan menyetandarkan vespa barulah dia turun.
Baru saja hendak melepas helm, eh sudah duluan dibantu Anne. "Hehe aku bantu."
Veenan mengangguk, mengamati paras Anne yang sedekat ini total membuat pipi Veenan memerah seperti kepiting rebus. Dia angkat tangan kanan, merapikan rambut Anne yang berantakan sebab kena angin saat diperjalanan.
"Kamu cantik banget? Rahasianya apa Ne? Kamu nggak capek buat hatiku tidak sehat?" Pertanyaan itu membuat Anne menepuk lengannya Veenan.
"Sakit Anne," Veenan mendumil. Dia mengerucutkan bibir. Setelah satu bulan jadian, Anne melihat sisi lain dari Veenan yang pada kenyataan tidak sedingin yang dia kira. Veenan sangat hangat, manja, dan hiperaktif kalau dia sedang bersamanya entah kapanpun dan dimanapun.
Saat ditanya kok kamu beda waktu kita belum jadian sama udah jadian?
Kata Veenan sikap hangatnya hanya untuk dua orang wanita di dunia ini. Pertama nenek, kedua Anne kalau memang ditakdirkan untuk Veenan.
Orang mana yang tak salah tingkah disaat mendengar hal semacam itu dari orang yang disuka? Anne masih ingat dia tidak bisa tidur karena dia terus terbayang kalimat Veenan saat itu.
"Mana yang sakit, kasihan ayang aku duh." Anne Mengusap-usap lengan Veenan.
Setelah sesi uwu tadi, mereka lekas masuk ke kedai bakso. Anne pesan bakso mercon sedang Veenan minta dipesankan bakso mozarella. Tidak bisa makan pedas si Veenan.
"Nenek kapan operasinya Veen?"
Anne bertanya sambil menuangkan sambal ke mangkok baksonya. Dia mendongak menatap pada Veenan.
"Dua hari lagi Ne, doain ya?" Veenan berkaca-kaca. Nenek akan operasi setelah akhirnya nenek mendapat donor ginjal. Sebenarnya, Veenan takut karena nenek akan memasuki ruang operasi, tapi Veenan lebih tak tega melihat nenek setiap minggu harus cuci darah. Bukan masalah biaya lantaran masih ada asuransi dan uang gajian Veenan, tapi intinya Veenan tidak mau kehilangan nenek yang selama ini menemaninya serta merawatnya.
Melihat Veenan berbinar, Anne pun mengusapkan jemarinya menyeka pelupuk mata Veenan. "Nenek pasti kuat kok. Beliau pasti sembuh. Ntar habis ini beliin cake yuk buat nenek. Pasti nenek suka."
Tangan Veenan menahan jemarinya Anne dipipinya. Dia menatap sendu.
"Kamu bakal sembuh juga ya Anne? Janji sama aku kamu nggak akan ninggalin aku."
Kedua manik legam mereka saling bersitatap. Anne mengulas senyum ragu. Menganggukkan kepala walau dia tidak yakin bisa bertahan sampai kapan. "Aku bakal sembuh kok. Kan aku mau habisin masa tuaku sama kamu."
Susah payah Anne tahan air mata. Dia menyodorkan bakso miliknya Veenan. "Ayo makan dulu yuk, aku lapar banget Veen."
"Hahaha iya tukang makan," Veenan mencubit gemas pipi Anne.
Anne menyuapkan bakso ke dalam mulut. "Pedes banget," menghadap ke Veenan. Dia menangis sehingga Veenan langsung panik memberikan es teh.
"Tuhkan aku udah bilang baksonya mang ujang yang mercon tuh nggak ada akhlak, kamu sih." Veenan ambil tissue guna mengelap keringat pada dahi Anne.
Tanpa Veenan menyadari bahwa air mata itu bukan karena pedas bakso mercon yang tidak seberapa, tetapi air mata karena Anne merasa amat bersalah lantaran berbohong pada Veenan. Maafin aku Veenan, maaf. Anne memandang sayu paras sang kekasih.
Impresinya terbang pada beberapa waktu lalu. Perbincangan dengan mama, papa, dan kak Naren.
"Anne, papa sama mama sekaligus Naren memutuskan buat membawa kamu berobat ke Jerman minggu depan." Ucap papa memandang ke anaknya.
Tidak lama Naren mengimbuhkan.
"Di sini susah dek cari donor jantung yang cocok sama kamu. Golongan darah kamu langka dan karena itu sampai detik ini kita tidak dapatkan pendonor. Kita pakai cara lain untuk perpanjang harapan hidup kamu ya Ne? Di Jerman ada harapan Anne, teknologi kedokteran mereka bagus dek."
Anne mendongak, menatap ketiga orang tersayangnya dengan tatapan menyakitkan.
"Ma, pah, kak, kesembuhan Anne mustahil. Daripada mama sama papa ngeluarin uang ratusan juta buat hal yang sia-sia. Mendingan gak usah. Anne ikhlas kalau nanti memang udah waktunya dipanggil Tuhan."
Mendengar itu, mama menangis. Dia sontak memeluk Anne. "Kita yang nggak ikhlas Anne, tolonglah demi papa sama mama, kakakmu. Jangan mikirin biaya, selama masih ada hal yang bisa dilakuin. Kita coba terus."
Kepala Anne menggeleng, dirinya kembali fokus menyuapkan bakso. Diam-diam melirik Veenan yang juga fokus menyuapkan baksonya. Veen, seenggaknya sudah punya memori sama kamu, itu lebih dari cukup kok Veen. Aku sayang kamu, selalu.[]