Berlin, Jerman
Dua Bulan KemudianAnne hiks...hiks..
Seseorang menangis tersedu-sedu memeluk sosok yang terbaring di atas ranjang pesakitan itu dengan beberapa selang yang menancap ditubuhnya. "Hiks, Ne, sakit banget Ne lihat lo begini."
Leona mengelap ingusnya gunakan selimut Anne. Sang empunya yang dipeluk-peluk mendengus kesal. Dia menepuk lengan Leona.
Sahabatnya itu sudah di Jerman selama seminggu. Maklum Leona merengek meminta izin ke papanya untuk menengok Anne yang berada di Jerman.
"Please deh. Lo nangis mulu bikin telinga gue sakit Leona."
Anne menoleh mencubit pipi Leona. Sang empu berkata, tapi tidak mau melepas pelukan dari Anne.
"La ini lo di Jerman malah kurus kerontang ih. Sahabat mana yang gak sedih! Gue tuh galau banget ngampus gak ada lo."
Selama ini Anne dan Leona itu bagai pinang dibelah dua. Di mana Anne berada, sudah pasti Leona juga ada ditempat. Sering dibilang kembaran padahal mukanya tidak ada miripnya sama sekali. Namun, keberadaannya Leona sebagai sahabat Anne sedari orok sudah sangat membuat Anne Ralisya bersyukur. Dia mengusapkan tangan di pipi Leona. Menyeka bulir air mata Leona.
"Len, thanks ya lo udah nemenin gue selama ini. Jadi sahabat baik buat gue." Anne tersenyum pada Leona sebelum memandang ke Jinan yang bersandar di dinding mengamati.
Ya! Kekasihnya Leona turut ikut ke Jerman.
Kedatangan Leona dan Jinan tanpa sepengetahuan Veenan sebab Anne yang meminta untuk tidak memberi tahu. Anne belum sanggup bertemu Veenan dalam kondisinya seperti ini. Dia hanya berbaring di ranjang yang sangat memegalkan punggung dan hari-harinya keluar masuk ruangan operasi.
Pasang ini itu, mengganti alat pacu jantung dan masih banyak lagi. Dan belum lagi beragam obat yang harus Anne konsumsi. Lihat saja ke meja sebelah ranjang. Banyak obat-obat yang harus Anne makan agar bisa memperpanjang harapan kalau kata dokter.
Pandangan Anne menoleh ke arah Jinan. "Jin, kok lo diem aja. Jangan nangis kali." Seru Anne melebarkan senyum.
Jinan mendekat, mengusap tangan Anne. "Lo nggak mau tahu kabarnya Veenan, Ne?"
"Jinan!" Leona menatap tajam. Anne hanya menatap lamat. Mengarahkan kepala lurus menghadap ke atas. Dia menutup sebentar kelopak matanya.
Anne, makasih ya udah hadir dalam hidupku. Aku sayang banget sama kamu.
Kedua netranya Anne basah ketika suara Veenan kembali terputar di ingatannya. Wajah Anne memanas. Kalimat itu adalah salah satu dari kalimatnya Veenan yang Anne ingat selama dia berada di Jerman dua bulan ini. Kalimat yang dilontarkan Veenan saat mereka masih sering menghabiskan waktu bersama di Indonesia. Sebelum Anne secara sepihak memutus kontak dari sang kekasih tercintanya.
Bohong kalau Anne tidak merindu. Dia sangat rindu seperti bulan yang selalu menantikan hadirnya malam agar cahayanya berpendar. Namun Anne sadar bahwa bertemu Veenan untuk saat ini sama saja membuat pertahanan Anne yang sudah susah payah dia bangun runtuh seketika.
Anne pikir sebaiknya memang hal ini yang dia lakukan. Berusaha belajar tanpa Veenan disisinya agar Veenan pun sama.
"Baiknya memang gini Jinan. Kalian tahu dokter bilang apa kemarin ke gue." Anne mengusap air matanya yang menangkring dipelupuk sayu itu. Dia berdehem.
Nafas Leona memberat. Tangannya menggenggam hasta kurus miliknya Anne. "Ne, inget gak dulu waktu kita masih kecil kamu pernah koma tiga bulan. Dokter bilang kamu gak akan bangun lagi. Tante Aura sampai gak mau makan seminggu. Kak Naren sampai tipes. Papa kamu juga kala itu stress banget. Dan aku nangisin kamu setiap hari. And see, miracles always come to you. Kamu selalu bisa melewati enam bulan, atau tiga bulan terakhir kamu. Kamu masih hidup sampai sekarang. Kamu juga bisa matahin prediksi dokter yang kemarin Anne."