04

925 224 62
                                    

Anne pingsan di dalam dekapannya Veenan.

Segera, Veenan menggendong Anne, membawa gadis itu ke ruang dokter Naren. Veenan melirik ke Anne yang terus mimisan. Apa efek gadis itu tadi lari-larian menyusulnya? Veenan tak tahu dan berharap supaya Anne baik-baik saja. Kendati dia seringkali risih dengan sikap Anne, tapi Veenan masih punya hati. Tidak mungkin dia tega menelantarkan Anne yang saat ini nampak sangat buruk kondisinya.

"Dokter Naren," Veenan membuka pintu dengan menggunakan kaki.

Terengah-engah, segera membawa Anne masuk ke dalam sesuai titah dokter Naren.

Naren terlihat panik, dia menekan bel untuk memanggil perawat dan sekon setelahnya Naren menoleh ke Veenan. "Dia kenapa?"

"Gak tahu dok, tadi Anne keringetan gitu terus dia pingsan." Veenan beri penjelasan.

Seketika Naren mengangkat tangan Anne, mengecek pendeteksi denyut jantung. "370 permenit? Ya Tuhan," Naren segera melakukan tindakan saat beberapa perawat masuk dan meminta Veenan mundur.

Veenan membenturkan punggung ke dinding. Dia mengamati agak ngeri saat dokter Naren sedikit menyanyat dada Anne dan memasukkan selang kecil ke dadanya dan mengeluarkan sedikit darah dari sana. Apa benar sosok yang terbaring di sana; Anne yang selama ini selalu tidak kenal lelah?

Anne yang menguntit Veenan dan selalu caper ke dia?

Kamu bakal suka sama aku hehehe, jadi kalaupun aku mati, hidupku gak sia-sia!

Veenan, ini roti bakar buat kamu. Eh kamu mau nggak ke pim?

Balas wa aku dong Veen!

Konyol. Veenan menolak percaya. Tapi realitas menamparnya, Anne Ralisya benar-benar terbaring lemah di sana.

"Denyutnya kembali normal dok."

Salah satu perawat berujar, Naren menghela nafas panjang. Lantas dia perintahkan menutup sayatan yang tadi dia buat.

Naren menoleh pada perawat yang membantunya. "Tolong rujuk dia ke dokter spesialis Jantung ya? Dokter Hidar," Lirih Naren melepas sarung tangan lateks yang dia kenakan.

Pandangannya Naren kembali pada Veenan. Dia melangkah mendekat dan menepuk pundak lelaki itu.

"Vee, makasih udah bawa Anne ke sini ya."

"Dok, Anne, dia nggak papa?" Tanya Veenan.

Naren menoleh sebentar, dia telak menahan nafas. "Denyutnya sudah normal. Tadi efek dia kelelahan dan  sebulan lalu baru pasang ICD, Anne nggak boleh kecapean. Tapi anak itu bandel." Kekeh Naren.

Veedan terdiam, entah kenapa dia merasa bersalah.

.

.

"Pacarmu kenapa Nan?" Nenek yang sedang duduk sembari mengupas  kulit apel, bertanya pada Veenan.

Veenan menggeleng, "Bukan pacar, nek. Berapa kali Veenan bilang." Dia protes. Mendongak ke nenek. "Tapi adik dokter Naren sakit jantung," lirih Veenan.

Nenek mengusap tangan lelaki itu. "Dia gadis yang kamu suka ya? Yang sering kamu lukis itu?"

D.E.G Netra Veenan membola. "Nek, masuk ke ruang lukis Veenan? Ahh nenek mah."

Veenan itu punya hobi melukis dan dia punya ruang lukis khusus yang dulu dibuatkan mendiang ayahnya.

Hobi Veenan masih berlanjut hingga detik ini. Sayang nenek dilarangnya masuk ke dalam ruangan itu. Tetapi beberapa waktu lalu nenek terpaksa masuk guna membersihkan ruangan itu. Alangkah terkejutnya dia melihat banyak lukisan gadis di sana.

Enigma[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang