Itu terjadi beberapa tahun lalu, lama sebelum mereka mulai berpacaran, ketika itu mereka masih jauh lebih muda. Mereka masih orang dewasa tanggung yang berpikir harus selalu sempurna dalam segala hal. Seolah dunia akan berakhir kalau mereka gagal melakukan sesuatu.
Itu adalah salah satu misi pertama Pol, di beberapa tahun awal ia bekerja.
Ia ditugaskan mengawal Kim yang ketika itu masih seorang mahasiswa, juga seorang remaja tanggung yang berpikir ia tahu semuanya—ia memang tahu beberapa hal, tapi tetap saja.
Ia belum sungguh-sungguh sadar betapa berbahayanya dunia di luar rumah baginya.
"Tinggalkan saja aku, aku akan baik-baik saja. Pa terlalu melebih-lebihkan." Ia mengusir Pol sembari turun dari mobil.
Aduh, anak itu. Betapa Pol berharap ia bisa memukul kepalanya.
Kim, saat itu, sudah menjadi anak pemberontak yang tidak mau mendengar ketika diberitahu untuk tetap merendah, demi keselamatannya sendiri. Ia membuka kanal Youtube, dan lihat, anak ini bahkan setuju menjadi bintang tamu di sebuah festival musik.
Semuanya terjadi sangat cepat. Satu waktu, Pol sedang memandangi Kim yang berjalan ke mobil setelah menyelesaikan pertunjukkannya. Berikutnya, ia sudah berlari ke sisi anak itu setelah melihat titik cahaya infrared di keningnya.
Ada penembak jitu di sana.
Pol berhasil menariknya ke samping, tapi gagal untuk sepenuhnya menghindari peluru.
Mereka mengenai lengan Kim.
Anak itu baik-baik saja, hanya sedikit terguncang. Tapi tentu saja, Pol tidak lepas dari itu dengan mudah. Chan memarahinya habis-habisan karena tidak cukup memperhatikan dan bertindak lebih cepat.
"Dalam bidang pekerjaan ini, waktu menentukan segalanya. Tiap detiknya berarti, dan kau gagal!" Chan memukul meja yang memisahkan mereka berdua, "Jangan pikir aku akan santai denganmu hanya karena kau anak baru."
Chan mengakhiri sesi omelan panjangnya setelah menyuruhnya berlatih lebih keras. Pol meninggalkan ruangan dengan langkah gontai.
Bukannya berjalan ke kamar, Pol justru berjalan ke tempat latihan menembak. Ia menemukan bahwa ruangan itu kosong.
Tentu saja kosong. Siapa yang mau pergi ke sana pukul sembilan malam?
Ya, ia mau.
Ia memasang penutup telinga, dan diambilnya pistol dari meja. Ia lalu mengambil posisi dan menembak. Sekali, dua kali, tiga kali—
Lalu ada sesuatu yang hangat ditempelkan ke pipinya.
Ia menjerit kaget dan berbalik untuk menemukan Arm tersenyum di sampingnya, sebuah cangkir di masing-masing tangannya.
Menit berikutnya, ia menemukan dirinya duduk bersebelahan dengan Arm di sebuah bangku besi, menggenggam secangkir cokelat panas di tangannya.
"Apa yang kau lakukan?" Pol bertanya lebih dulu.
"Bukankah aku yang harus bertanya?" Arm berdecak, "Aku sedang patroli, dan entah bagaimana aku menekukan anak nakal di luar kamarnya."
"Siapa yang kau panggil anak nakal?!" Pol melotot padanya, dan Arm buru-buru meletakkan jari di bibirnya.
"Kau mau kita ketahuan? Pelankan suaramu!" Arm setengah berbisik.
Pol menyesap cokelat panasnya.
Rasanya tepat. Tidak terlalu encer, tidak terlalu pekat. Tidak terlalu pahit, tapi juga tidak terlalu manis. Tepat.
Itu satu-satunya yang cukup baik hari ini.
"Kau habis dimarahi, eh?" Arm menggoda, dan Pol memutar matanya.
"Wajahmu mengatakan segalanya." Arm terkekeh setelahnya.
Mungkin itu adalah bagaimana Arm membawakan dirinya sendiri, atau mungkin itu cokelat panasnya, mungkin itu atmosfernya, atau mungkin itu hanya sesuatu tentang waktu malam yang membuat kata-kata dengan mudahnya bergulir dari lidahnya.
Ia memberi tahu Arm segalanya. Tentang festival musik, tentang bagaimana ia menyadari titik merah itu tapi terlalu lamban bertindak, tentang bagaimana Kim hanya dia sepanjang perjalanan pulang, tentang bagaimana Chan memarahinya.
"Aku... Aku ingin berhenti saja." Pol tertawa getir, "Pengecut, ya? Aku bahkan belum setahun resmi bekerja di sini, dan mungkin masih banyak kegagalan yang menungguku di tahun-tahun yang akan datang."
"Mungkin aku hanya tidak cocok bekerja di bidang ini, mungkin harusnya aku tidak di sini. Aku..." Ia menghela napas berat, "Aku gagal, Arm. Aku mengecewakan P'Chan. Ia membentakku dengan amarah, tapi aku paham bahwa... Ia hanya kecewa padaku."
"Memikirkan bahwa aku akan menghadapi lebih banyak kegagalan di masa depan, itu menakutkan. Maksudku, aku ditugaskan untuk melindungi nyawa seseorang. Hari ini itu lengan Khun Kim, bagaimana kali berikutnya? Bisa saja perutnya, dadanya, atau," Pol menelan ludah, "atau kepalanya."
"Aku ingin berhenti saja." Pol membenamkan wajah di telapak tangan, lalu ia merasakan sebuah tangan meremas pundaknya.
"Kau bisa berhenti." kata Arm.
Pol menoleh padanya.
"Kau selalu bisa memilih berhenti." Mata Arm memandanginya, "Tapi kemudian kau tidak punya kesempatan untuk membuktikan dirimu sendiri."
Pandangan Pol kembali pada sepasang sepatu yang sedang dikenakannya.
"Kalau kau berhenti sekarang, kau tidak akan pernah tahu apa yang menantimu di masa depan." Entah mengapa, genggaman tangan Arm terasa sangat meyakinkan baginya.
"Tapi kalau kau memberikan dirimu sendiri kesempatan lain, kau bisa mengembangkan kemampuanmu. Mungkin ada banyak hal baik yang menunggumu di sini," Arm terkesiap pada dirinya sendiri, "sebentar, ini terdengar manipulatif."
Pol menemukan dirinya sendiri terkekeh pada lelucon yang tidak lucu itu.
"Maksudku, kau tahu. Gagal itu bagian dari hidup, kau tidak akan tahu betapa senangnya berhasil kalau kau tidak pernah gagal." Arm melanjutkan, "Kau harus memberikan dirimu sendiri kesempatan kedua, untuk memperbaiki kesalahanmu, untuk menjadi lebih haik. Kau harus belajar memaafkan dirimu sendiri."
Pol akhirnya menemukan keberanian untuk menatap balik pria di sebelahnya.
"Tidak apa-apa kalau kau gagal, kau tahu." Arm tersenyum lebih lebar.
"Angkat kepalamu, kau sudah sangat hebat bisa bertahan sejauh ini. Hargailah sedikit dirimu." Arm menepuk pelan punggungnya.
"Tapi, tetap saja, ini terserah padamu. Aku tidak bisa memaksamu tinggal kalau tidak mau." Pundaknya diremas sekali lagi, "Aku akan kembali patroli. Aku akan melakukan sesuatu dengan rekaman CCTVnya, jangan khawatir. Tapi lebih baik kau kembali ke kamarmu sebelum P'Chan menangkap basah dirimu kabur."
Arm mengeluarkan senter dari sakunya dan berjalan keluar dari tempat latihan menembak, tapi tidak sebelum mengepalkan tangan di dada dan berbisik halus "Semangat!" Padanya.
Dan sekarang, Pol tinggal sendirian, seperti bagaimana ia tadi sebelum Arm mengganggunya. Hanya saja hatinya sekarang terasa lebih ringan, seperti ada beban yang terangkat dari atasnya.
Dan ia menemukan sebuah alasan untuk tetap tinggal—untuk melihat apa yang menunggunya di sini di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Simple Things (KinnPorsche The Series Fanfiction)
FanficTidak seperti Kinn dan Porsche atau Vegas dan Pete dengan latar belakang dan perasaan mereka yang rumit, Pol dan Arm hanyalah dua pengawal yang jatuh cinta. Dengan segala kesederhanaannya, mereka hanya mencintai satu sama lain. (PolArm/Armpol Fanfic...