Dingin

1.7K 269 10
                                    

⚠️ TW ⚠️
Tembakan, penyebutan bunuh diri.

Mereka siap.

Atau setidaknya mereka pikir mereka siap. Lagipula, mereka harus siap.

Tapi mereka tidak siap. Sebanyak apapun mereka menembak dan ditembak tidak akan pernah menyiapkan mereka untuk ini.

Tidak peduli berapa kali pun mereka menembak seseorang atau ditembak seseorang, mereka tidak akan pernah siap melihat salah satu dari mereka tertembak.

Atau, secara terus terang, berada di ambang kematian.

"Pol!"

Arm berseru tertahan melihat tubuh Pol yang rubuh.

"Sialan!" Ia menyumpahi segalanya. Menyumpahi siapapun yang menembak Pol, menyumpahi keadaannya yang tak berdaya-bahwa ia tidak bisa langsung berlari ke Pol sebelum memastikan keluarga yang kini ia lindungi telah aman.

Setelah memastikan peluru terakhirnya menembak orang yang tepat, Arm menyarungkan pistolnya dan berlari ke sisi Pol sambil meneriakan perintah pada pengawal lain untuk memanggil tim medis.

"Pol, tetap terjaga, oke?"

Orang dalam rangkulannya membuka matanya lemah, napasnya tersengal-sengal.

"H-Hei, aku baik-baik saja..." Dengan gemetar, tangan Pol berusaha meraih tangan Arm yang berlumuran darah.

"Iya, kau baik-baik saja, dan kau akan baik-baik saja. Aku janji." Arm menggenggam tangan yang dingin itu dengan tangan kanannya. Tangan kirinya menekan dada Pol, berusaha menghentikan pendarahannya.

Pol tersenyum lemah, matanya mulai menutup perlahan hingga Arm berteriak padanya.

"Jangan tidur! Pol, aku mohon. Jangan tidur. Aku akan membiarkanmu tidur nanti, tapi tidak sekarang. Sekarang, aku butuh kau tetap terjaga, oke?"

Arm menekan lebih keras, dadanya sendiri berdebar-debar begitu keras. Terlebih ketika genggaman tangan Pol pada tangannya melemah.

"Demi Tuhan, di mana medisnya, sialan?!"

Tak lama setelahnya, seorang pengawal berlari masuk bersama tim medis. Setelah meremas tangan Pol sekali lagi untuk meyakinkannya, Arm menepi untuk memberikan mereka ruang. Mereka memasukkan Pol ke dalam van sedangkan Arm buru-buru masuk ke mobil lain, di kursi pengemudi. Tapi sebuah tangan dengan kasar menariknya menjauh.

"Aku akan menyetir, masuklah ke sisi lain."

Itu Kinn.

Di situasi lain, Arm akan menolak. Pengawal tidak seharusnya duduk manis sementara tuannya mengemudi.

Tetapi ini bukan situasi lain. Jadi ia masuk ke kursi penumpang, dan memasang sabuk pengamannya, tanpa berkata-kata.

Kinn menjaga pandangannya pada jalan di depan mereka sepanjang perjalanan. Arm tidak bertanya mengapa ia melakukannya. Mungkin itu karena ketakutan di mata Arm, atau mungkin ia tahu mereka memiliki hubungan istimewa.

Kemungkinan besar ia tahu. Omongan menyebar lebih cepat daripada angin di rumah itu.

Kinn tidak mengatakan apapun sepanjang jalan, dan Arm juga tidak berusaha memulai percakapan. Tangannya bergerak-gerak gelisah di atas pangkuan sementara matanya menatap ke luar jendela, berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa basah darah Pol di antara jari jemarinya.

Ketika mereka sampai di rumah, Kinn segera membuka kunci mobil tanpa mengatakan apapun. Bahkan ketika Arm menundukkan kepala dan berlari ke dalam.

Pol langsung dibawa ke ruang operasi setelah ia sampai. Ketika Arm sampai di sana, ia menemukan Tankhun berdiri di luar ruangan, tatapan khawatir seolah terukir di wajahnya. Porsche dan seorang pengawal lain mendampinginya di masing-masing sisinya.

The Simple Things (KinnPorsche The Series Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang