part 6

20 1 0
                                    

Di sebuah cafe yang tak jauh dari kampus, Adista tampak sedang menunggu seseorang. Melihat suasana sekeliling, cafe itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang berkutat dengan laptop, dan beberapa tumpukan buku disampingnya.

Cafe ini sering didominasi oleh mahasiswa yang sedang mencari tempat istirahat yang nyaman untuk mengerjakan tugas selain di perpustakaan, atau hanya sekedar bersantai-santai. Karena cafe ini letaknya di bagian belakang kampus yang langsung disuguhkan dengan luasnya hamparan sawah, jauh dari kebisingan dan asap kendaraan. Cafe ini menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang yang merasa dirinya perlu akan ketenangan. Mereka menyebutnya cafe healing.

Lantas, kenapa cafe ini tidak begitu ramai? Mungkin karena cafe ini cafe sederhana yang menyediakan tempat duduk lesehan, kursi dan meja dari bahan plastik, dan menu yang tidak aneh-aneh tentunya ramah dikantong mahasiswa.

Kemajuan teknologi menjadi pengaruh besar terutama dalam berbisnis. Sebagian orang ingin mengunjungi cafe yang lagi hits dipromosikan oleh selebgram, atau mungkin menu yang ada di cafe ini tidak sesuai dengan mereka. Entahlah. Tidak terlalu banyak orang itu lebih bagus.

"Hei, maaf ya telat." Ucap Adrian dengan napas terengah-engah, "tempatnya jauh dari tempat aku meeting tadi." Adrian jongkok melepaskan sepatu yang dipakainya.

Adista sengaja memilih tempat lesehan. Dipikirnya nyaman karena bisa sambil meluruskan kedua kakinya, dan bisa mengatur posisinya duduk. Ternyata itu tidak berlaku bagi orang yang memakai sepatu, harus melepasnya dulu kemudian bisa duduk. Merepotkan.

"Gapapa ko," Adista yang tadinya mau marah karena sudah menunggu cukup lama mengurungkan niatnya melihat Adrian datang dengan keringat yang bercucuran membasahi wajahnya, "mau pesan minum?" Tawarnya basa-basi.

"Boleh." Jawab Adrian dengan napas sudah kembali normal.

"Aku tadi agak kesusahan nyari cafe ini. Sudah tanya ke beberapa orang, tapi mereka tidak ada yang tau. Eh, giliran ada yang tau malah asal nunjukin jalan." Lelaki didepannya terkekeh.

Adista yang mendengar ocehan Adrian hanya manggut-manggut dan tersenyum tipis.

"Jadi, ada apa?" Tanya Adrian yang langsung menyeruput es jeruk didepannya.

"Begini...." Adista sedikit ragu mengungkapkan nya, karena ini bertolak belakang dengan perasaan dan pikirannya, "aku tidak ingin berurusan lagi." Ucapnya mantap, "aku belum sempat berterima kasih dan meminta maaf untuk beberapa hari kebelakang, karena itu aku menemui mu kemarin."

Adrian menyipitkan matanya, masih dengan sedotan digigitnya perlahan.

"Aku berterima kasih karena kamu sudah menolongku waktu itu, dan aku minta maaf karena menolongku, kamu jadi dipukuli."

Akhirnya Adista mengungkapkan apa yang ada dipikirannya, bukan hatinya. Dalam posisi mata menatap kebawah, Adista tidak bisa melihat bagaimana mimik wajah Adrian sekarang. Hening. Karena tidak ada jawaban dari Adrian, Adista mendongkak melihat Adrian, alisnya terangkat menunggu jawaban.

"Tunggu. Aku tidak mengerti. Tidak ingin berurusan lagi, maksudnya apa?" Tanya Adrian heran.

"Ya aku tidak ingin kita berurusan lagi, lagipula tidak ada alasan untuk kita saling berhubungan."  Adista berucap tanpa berpikir, seringkali ia melakukan itu. Tanpa sadar ucapannya itu mungkin menyakiti lawan bicara.

"Jadi kamu tidak ingin membangun sebuah hubungan denganku?" Tanya Adrian yang seketika membuat Adista diam membisu, "Maksudku pertemanan." Jelasnya.

"Aku tidak tau." Suaranya pelan, ada sedikit keraguan dalam dirinya.

"Baiklah," ucapan Adrian terhenti sesaat, "aku tidak bisa memaksa. Tapi tolong beritahu aku, bagaimana sikapku nanti saat kita tidak sengaja bertemu atau berurusan lagi?"

You Ever Be MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang