Part 1

240 17 8
                                    

"Aduh...jangan mogok dong." Adista mencoba menghidupkan mesin mobilnya kembali, namun tidak membuahkan hasil.

Ia mencoba menghubungi kekasihnya, namun tidak ada jawaban.

"Zombie!" batin Adista.

Zombie adalah nama panggilan untuk kekasihnya, Alfarel.

Karena Farel bagaikan zombie yang selalu mengejar Adista, tapi saat Adista membutuhkannya, ia menghilang, seperti kacang lupa kulitnya.

Tidak putus asa, ia kemudian menghubungi teman karibnya, Adiba. Dering kedua masih tidak ada jawaban, Adista mulai panik. Tidak biasanya Adiba mengangkat telpon lama. Disaat dering terakhir, seseorang disebrang sana berbicara dengan suara pelan.

"Halo ta? kenapa?"

"Mobil aku tidak bisa menyala, kamu bisa kesini?"

"Tidak bisa ta, Pak Bando sudah masuk kelas."

"Serius?!" Tanya Adista dengan kaget. Ia mulai khawatir, pasalnya Pak Bando masuk dalam list dosen killer.

"Iya ta. Baru masuk ko, kamu dimana?"

Bukannya menjawab, Adista malah mematikan telponnya.

Adista keluar dari mobil, celingak - celinguk mencari seseorang yang dapat membantunya.

Hari ini adalah hari seperti biasanya bagi Adista, namun tidak dengan mobil mogok. Biasanya Adista jarang terlambat pergi kuliah, mungkin karena semalam bergadang nonton drama korea sampai jam dua dini hari. Jangan salahkan Adista, karena sebelumnya jadwal kuliahnya nanti siang, namun ada perubahan jadwal secara mendadak, dosen tersebut meminta jadwal pagi.

Dari kejauhan Adista melihat penggendara sepeda motor melaju dengan cepat, ini kesempatan. Ia bisa meminta bantuannya.

Dengan cepat Adista berdiri tepat ditengah jalan dengan tangan sengaja direntangkan.

"Neng ngapain?" tanya si bapak - bapak pemilik motor dengan wajah penuh keringat.

"Bantuin saya dong Pak," ucap Adista memelas.

"Tidak bisa!!" si pemilik motor pun mencoba melajukan kembali motornya, tapi dengan sigap Adista kembali merentangkan tangannya.

Si pemilik motor mendesah keras, "Saya sedang buru - buru Neng. Istri saya sedang lahiran di Puskesmas."

Spontan Adista menurunkan tangannya. Ia merasa bersalah telah menghalangi jalannya. Adista pun menepi memberi jalan.

Merasa kasihan dengan wajah Adista yang memelas, si pemilik motor tidak tega meninggalkan Adista seorang diri. Apalagi dia wanita. Tapi mau bagaimana lagi, ada orang lain yang lebih membutuhkannya sekarang.

"Begini saja Neng, saya panggilkan orang untuk bantu neng."

Adista mengangguk cepat, "makasih ya Pak, maaf saya tadi menghalangi jalan Bapak."

Si pemilik motor mengangguk kemudian menjalankan kembali motornya.

Adista mendongkak menatap langit. Awan - awan mulai menghitam, ditambah angin yang cukup kencang membuatnya tak ingin berlama-lama berdiri di luar. Ia memutuskan masuk ke dalam mobil, menunggu seseorang datang.

Menenggelamkan wajahnya di stir mobil, ia sudah benar - benar terlambat. Tapi sekarang Adista tidak mempermasalahkan itu, sekarang ia lebih memikirkan bagaimana caranya pulang.

You Ever Be MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang