4. Lintasan

67 16 1
                                    

Kata-kata itu habis dirajang waktu.
Bait-bait dalam buku habis direbut sang kala yang mengambil segala bentuk perhatian. Pusatnya tidak lagi sama, berubah tak tentu arah dengan isi kepala yang ramai dan ribut tengah bernegosiasi soal tuntutan akan keputusan dalam hidup soal kepastian masa depan.

Bait itu mengharapkannya kembali, maka juga begitu seharusnya dan kembali setelah sibuk berkelana dan adil pada hal yang sudah seharusnya terjadi. Bait itu merindukan sentuhan halus setiap lembaran yang mulai usang, lama tak disentuh oleh tuan yang berpaling pada nirmala yang sesungguhnya adalah fatamorgana.
Hangus dan lenyap oleh ilusi, hasil keributan dan negosiasi dalam kepala.

Tuan  yang berjalan angkuh diantara impian, keinginan dan harapan pihak kedua dan ketiga. Hingga satu titik temu, terbitnya fajar membias kembali pada mentari yang menyombongkan diri dengan lembar penuh makna. Bahkan sampai fajar terbenam Tuan masih menelantarkan bait-bait itu, dalam ricuh suasana hati dan rentak tulang sebab terus berbual akan rasa ingin yang rakus soal hidup yang tidak abadi.

Bibir terus mengeluh, hati yang terus meronta dan tubuh yang minta untuk kembali pada bait yang hilang. Sialnya rasa butuh yang menggerakan tanpa ada gejolak yang sempat membara dulu.

-aku-

.
.

Artinya, menurut pandangan kalian aja yang membaca. Subjektif, apapun bisa meskipun berbeda dengan ungkapan yg aku tulis.

Pijar NirmalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang