9. Kepada titik 0 ia berpulang

41 8 3
                                    

Ada yang gak asing dengan judul kali ini?

Kalau enggak, iya betul. Judul bagian ini pernah aku buat di cerita My Universe Ours pada saat Sam Hansen ditinggalkan oleh Jhon Hansen, adik satu satunya yang ia punya ketika semesta tarik kembali jiwa raga yang sudah patah, tinggalkan sepucuk jiwa layu dengan emosi yang menggebu.

Siapa yang sangka, takdir Tuhan yang tidak bisa diubah ternyata terjadi juga. Soal usia memang tidak ada yang tahu, mendadak terjadi padahal dua hari sebelumnya Almarhum masih sibuk aktivitas sana sini sembari saling bergurau menembus jalan raya ketika sore hari pulang aku kerja dan menuju kampus.

Adalah adik laki-laki yang selalu siap soal diminta tolong, bahkan ditengah kesibukannya itu tidak pernah sekalipun ia bilang "cape kak, nanti ya.". Izinkan aku sedikit cerita, almarhum adalah anak yang rajin. Ketika aku bekerja, dan dia pulang kuliah maka ia akan melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Mencuci, jemur baju, nyapu, ngepel bahkan sesekali memasak lalu jemput aku di tempat kerja. Tidak pernah sekalipun membantah Ayah yang suka mengamuk hanya karena kesalahan kecil yang ia lakukan, ia hanya diam mendengarkan meski terkadang ada pukulan yang ia terima.

Kalau ditanya tidak apa? Jawabannya selalu "Gapapa da udah biasa"

Aku sempat berpikir, menjadi anak perempuan pertama bukan hal yang buruk sejak hadirnya adik laki-laki yang hanya berbeda dua tahun jarak usia dariku. Ia tumbuh menjadi remaja yang beranjak dewasa dengan pola pikir yang aku sendiri tidak bisa menebak bagaimana otak kusut itu bekerja untuk hidup ditengah lingkup yang keras.

Aku juga sempat berpikir bahwa aku akan dilindungi oleh adik laki-laki ku itu, terbukti dengan tanpa banyak bicara ia selalu ada acap kali aku butuh bantuanya, ia selalu bilang untuk lebih mendahului aku ketimbang dirinya sendiri. Bahkan disaat hujan ketika motor melintas cepat ditengah bingar manusia yang pulang bekerja, ia rela basah sekujur tubuh hanya demi aku yang takut menunggu lama di tempat kerja. Sedang sepanjang jalan aku sibuk berkomentar mengapa tidak lebih dulu menepi? Mengapa tidak membawa jas hujan? Dan yang paling aku benci adalah mengapa tidak pernah membawa ponsel disaat situasi tersebut, dan ia tidak balas mengomel dan berkata "udah kak, udah jangan marah-marah. Lagi hujan."

Alhasil kita menembus hujan dengan perasaan wawas ketika melihat bensin motor akan habis, padahal jarak menuju rumah masih jauh. Lagi-lagi aku sibuk mengomel dan dia hanya diam  sibuk mengendarai memperhatikan jalan dengan hati-hati.

"Tolong jemput dong di kampus...

"Tolong jemput di tempat kerja....

"Tolong anter ke kampus...

"Tolong pas gua kerja, kalau sempet pulang kuliah beberes yaa. Nyucii, jemur, masak nasi. Oke!"

Selalu, selalu itu yang aku bilang dengan iming-iming "Nanti pulang kk bawain makanan enak!"

"Enggak usah disuruh, udah sana berangkat. Semangat kak kerjanya!"

"Lu jangan males!"

Kiranya selalu begitu percakapan setiap pagi.

Sebut saja aku si bodoh, yang membiarkan laki-laki melakukan demikian. Padahal harusnya aku biarkan saja ia bermain, nongkrong dengan teman sebaya.

Sayangnya adikku bukan seseorang yang seperti itu. Ia selalu sibuk dengan kuliah, organisasi, pekerjaan rumah dan kalau ada waktu luang ia akan pergi mengikuti kajian-kajian.

Sempat sekali temannya waktu itu mengajak nongkrong, lucunya ia bertanya lebih dulu.

"Menurut lu ka, gua ikut atau enggak? Tapi gua males. Cara nolaknya gimana?"

"Kenapa gitu? Gapapa sesekali mah main."

"Males aja, bilang aja kerjaan rumah numpuk gitu ya hahaha...."

Pijar NirmalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang