"Rala kau dapat kamar nomor berapa? Katakan kau dapat kamar nomor 84."
"Tidak, aku dapat kamar 116," jawabanku langsung diiringi dengan tarikan nafas kecewa dari Frea.
"Oooh sangat disayangkan, tapi tak apa aku bisa mengunjungi kamarmu. Oh ya bagaimana kalau aku membantumu mencari kamar," tawar Frea. Sebelum aku menjawab Frea sudah menarik tanganku duluan, mulai mencari kamar. Pertama kami mencari di lantai satu, setelah berkeliling 15 menit kami tidak menemukannya. Lantai satu hanya terdapat kamar dengan nomor genap 2 sampai 40. Berarti kamarku dan Frea ada di lantai dua atau tiga. Frea juga berpikiran sama, jadi kami pergi bersama-sama mencari kamar di lantai dua dan lantai tiga. Selain itu, semua kamar yang ditempati oleh anak perempuan nomornya genap. Jadi, mungkin saja kamar yang ditempati oleh anak laki-laki nomornya ganjil.
Bangunan asrama berbentuk leter U. Terdiri dari enam lantai, satu lantai terdapat 20 kamar. Di bagian kanan dan kiri masing-masing terdapat dua kamar, sedangkan di bagian tengah terdapat 16 kamar. Berdasarkan informasi yang aku dapat dari peri petugas yang membagikan kartu dan kunci kamar, dari tahun pertama sampai tahun ketiga, siswa akan menetap di akademi. Tapi, jika sudah memasuki tahun keempat, para siswa akan ditempatkan di lingkungan masyarakat. Mereka akan bersosialisasi dengan warga setempat dan menyelesaikan tugas akhir mereka.
"Kau menemukannya Rala?" Frea menghampiriku dengan wajah yang tampak sedikit berkeringat. Aku menggeleng dan mengelap keringat yang mulai membasahi keningku. Ini sangat melelahkan dan ditambah lagi aku masih menyeret koper besar ini.
"Aku sudah menemukan kamarku, persis di sebelah tangga. Kalau kau belum menemukan kamarmu, kau bisa menginap di kamarku," saran Frea. Aku hanya mengangguk dan lanjut menyusuri koridor lantai dua, asrama ini lebih luas dari yang kukira. Bahkan perjalanan dari gedung akademi menuju asrama memakan waktu sepuluh menit.
"Haaa, itu dia." Frea menunjuk pintu kamar dengan nomor 116 penuh semangat. Dia menarikku menuju pintu itu dan bertepuk tangan gembira. Aku terdiam, ragu untuk membuka pintu. Frea yang bingung melihatku langsung menyenggol bahuku.
"Ayolah, apa yang kau tunggu. Buka pintunya!"
"Sebaiknya aku mengetuknya."
Aku kepalkan tanganku dan mengetuk pintu itu tiga kali. Tidak ada jawaban, aku ketuk sekali lagi tapi tetap tidak ada yang membukakan pintu. Frea yang geram menggedor pintu itu kuat-kuat, tapi tetap tidak ada yang membukakannya.
"Ya sudahlah Ra, kau buka saja pintunya. Lagi pula ini kamarmu sendiri."
"Mungkin kau benar." Saat aku akan membuka pintu kamar, tiba-tiba muncul seorang bernetra biru. Rambut pirangnya tampak basah, masih dengan handuk yang menutupi kepalanya dia tersenyum ke arahku.
"Hai, apa kau juga di kamar ini?" sapanya.
"Ya, salam kenal. Aku Rayala Nohari." Aku mengangkat tangan menjabat tangannya.
"Aku Zilfirani, panggil saja aku Firin." Dia membalas jabatan tanganku, wajahnya cantik dan lembut.
"Aku pikir aku hanya sendiri di kamar ini. Apakah kau juga di kamar ini?" Firin menoleh ke arah Frea.
"Tidak, aku hanya menemaninya mencari kamar. Oh ya, kenalkan namaku Freali Agata." mereka saling menjabat tangan.
***
Rala terkagum-kagum melihat Firin yang tampak rapi dengan dres biru sepanjang lutut. Sedangkan dirinya hanya menggunakan baju kaus sepanjang paha dengan celana levis abu-abu. Mereka akan pergi ke kafetaria untuk makan malam, dan sebelum itu mereka akan mampir ke kamar Frea untuk menjemputnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIZARTH : TOGETHERNESS
FantasyRayala Nohari. Menjadi seorang makhluk Rizarth yang berbeda dibandingkan yang lain. Tidak memiliki kesaktian meskipun berasal dari keluarga berkesaktian hebat. Meskipun sudah menginjak usia 10 tahun, Rala masih belum mendapatkan kesaktian sebagaiman...