Bab 6

3 0 0
                                    

Rala POV

Bagaimana aku tidak kaget kalau aku selalu bertemu orang yang sama berkali-kali dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Aku tidak akan pernah lupa dengan iris ruby nya yang sangat tajam dan sekarang iris ruby itu kembali memandangiku dingin,

"Astaga.... sial sekali aku harus bertemu dengan gadis yang sama dalam dua hari." Blaze berdiri dari jatuhnya dengan tatapan yang tidak lepas dariku, iris ruby nya bersinar terang. Tiba-tiba tubuhku serasa terkunci saat melihat mata merah itu, aura mengerikan terpancar dari matanya. Darahku serasa berhenti mengalir, bulu kudukku langsung merinding, perasaan tidak nyaman menjalar sampai ke ubun-ubun.

Kenapa auranya?

Aku perhatikan tubuhnya dari atas sampai bawah dan tatapanku berhenti pada gelang hitam berlambang seluruh kelompok Rizarth yang terpasang pada tangan sebelah kirinya. Aku terkesiap, ternyata dia memakai benda itu. Tampaknya dia sadar arah tatapanku, karena itu dia langsung menggenggam pergelangan tangannya erat dan berlari pelan, menjauh dariku. Aku hanya bisa termenung dengan posisi terduduk di lantai.

"Apa kau akan terus duduk di sana?"

Aku spontan langsung mendongak ke atas dan mendapati seorang remaja berambut silver dan bernetra hazel sedang menunduk, menatapku lekat.

"Butuh bantuan?" Aku tetap diam, bingung harus menjawab apa. Karena kesal melihatku yang tetap diam dia langsung memegang kedua bahuku dan mengangkat tubuhku. Dari tatapannya dapat tergambar jelas kalau dia heran dengan tubuhku yang sangat ringan.

"Te... terimakasih, A... Aldrich?" ujarku terbata-bata. Aldrich hanya mengangguk pelan dan mengacungkan tangannya ke arahku.

"Kita belum berkenalan."

Dengan ragu-ragu aku jabat tangan Aldrich yang ternyata lebih besar dari tanganku dan ditambah lagi tangannya hangat dan kasar. Sepertinya dia seorang pekerja keras.

"Aldrich Maxwell."

"Aku Rayala Nohari, panggil saja Rala."

"Baiklah."

Aldrich melepaskan genggaman dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. Kami sama-sama belum beranjak dari situ, kami hanya saling terdiam sambil memperhatikan wajah masing-masing. Tapi, keheningan itu pecah oleh teriakan Frea dan Firin yang berlari tergesa-gesa ke arahku.

"Rala.... Rala...." seru Frea dengan nafas yang terengah-engah, aku hanya menatapnya datar. Kesal dengan ekspresi wajahnya yang berlebihan saat melihatku.

"Dari mana saja kau? Namamu sudah dipanggil dari tadi dan kau tidak datang-datang. Aku dan Firin terpaksa harus berkeliling mencarimu dan ternyata kau malah berkencan di sini," omel Frea.

"Hey! aku tidak berkencan Frea. Kami hanya kebetulan bertemu," seruku sambil meletakkan tangan di pinggang.

"Tidak usah banyak omong, kita harus cepat pergi!" tanpa meminta persetujuan dariku, Frea langsung menarik tanganku dan berlari dengan kecepatan tinggi menuju aula. Susah payah aku menyamakan langkah kakiku dengan Frea, gadis itu berlari dengan kencang seolah-olah sedang terbang.

Setibanya di aula

"Rayala Nohari datang...." seru Frea sambil berlari menerobos barisan, yang membuat kami menjadi pusat perhatian. Aku hanya mampu meneguk ludah saat Frea mendorong tubuhku tengah aula, sedangkan Rabeer Bee menyambutku dengan senyum lebarnya.

"Baiklah Rayala silahkan lakukan apa yang kau bisa, jika kau butuh perlengkapan atau alat-alat silahkan panggil aku." Aku hanya bisa mengangguk pelan dan memandangi Rabeer Bee yang sudah berpindah ke dekat meja panitia.

Aku usap wajahku yang sudah mengeluarkan keringat dingin. Pikiranku benar-benar kosong, sekarang aku tidak tau ingin berbuat apa. Sedangkan Rizarth yang lain tampak saling berbisik saat melihatku hanya terdiam di tengah aula. Aku hanya bisa memejamkan mata rapat sambil menguatkan hatiku untuk tetap melakukan sesuatu. Tiba-tiba terlintas lagi dipikiranku tentang perkataan ibu saat melepasku ke Ravane.

"Jangan kecewakan ibu."

Aku hela nafas pelan, dengan ragu-ragu aku kepalkan tanganku dan aku angkat ke depan dada. Aku bisa merasakan aliran-aliran aneh dalam tubuhku yang menjalar kemana-mana, hanya saja aliran itu terasa begitu lemah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk mengubah diriku menjadi serigala, tapi sama seperti kemarin-kemarin. Hanya bayang-bayang kepala serigala yang muncul dari tubuhku. Aku coba sekali lagi, tapi sama saja hanya bayang-bayang serigala yang muncul, bahkan bayang-bayang itu semakin memudar. Ini jadi bertambah buruk.

Saat itu juga aula langsung penuh dengan suara-suara bisikan, aku hanya bisa terdiam dan terduduk di tengah-tengah aula. Mencoba menahan air mata yang sudah berlinang di pelupuk mata, tapi sepertinya aku tidak ahli dalam mengendalikan emosi. Setetes demi setetes air bening mengalir di pipiku, aku menangis....?

"Aku tidak bisa, aku tidak bisa....hiks....hiks" pikiranku kacau, perasaanku bercampur aduk, tidak ada kata-kata lain yang bisa aku ucapkan. Aku sudah menyerah...

"Aku tidak bisa...."

***

Rabeer Bee yang kebingungan melihat Rala menangis langsung melihat biodata Rala, dan dia spontan menutup mulut kaget. Panitia yang keheranan melihat Rala memanggil Rabeer Bee.

"Apa yang terjadi Rabeer Bee?"

"Sepertinya kita tidak teliti saat memeriksa biodata para siswa tahun ini, jumlah mereka lebih banyak dari angkatan sebelumnya dan kita melewatkan ini."

Rabeer Bee menunjukkan kertas biodata yang dipegangnya, para juri juga tampak terkejut saat melihat data Rala. Rabeer Bee dan Xazaravane-kepala sekolah Akademi Ravane-berjalan mendekati Rala dan mengelus kepala gadis itu pelan. Rala tidak bergeming masih merasa nyaman dengan posisi menangisnya.

"Rala." Xazaravane mengangkat kepala Rala lembut, Rala tidak melawan dia menatap Xazaravane dengan sayu, matanya memerah. Xazaravane mengulurkan sebuah pil ke depan wajah Rala. Rala yang bingung hanya diam dan memperhatikan pil yang dipegang oleh Xazaravane.

"Makanlah!" Rala tidak bergeming, dia ragu untuk memakan pil itu. Bisa saja pil itu membuat badannya hancur dan terbakar, tapi karena tidak ingin semakin dibicarakan oleh para Rizarth Rala memilih untuk tetap memakan pil itu.

"AAARGH...." Rala menjerit kesakitan. Perutnya bergejolak, kepalanya pusing, tubuhnya serasa ingin meledak, mual-mual juga menghampirinya. Rala langsung menutup mulutnya saat merasakan isi perutnya ingin keluar. Penglihatannya semakin buram, karena tidak tahan akhirnya Rala mengeluarkan isi perutnya. Untung saja Rabeer Bee sudah menyiapkan sebuah baskom kecil. Rabeer Bee yang melihat Rala muntah mengatakan sesuatu kepada Xazaravane melalui kontak mata,

"Murni Rizarth"

Rala yang tidak tahan dengan kondisi tubuhnya langsung berlari keluar dari aula, menerobos rombongan para Rizarth yang menatapnya dengan tatapan aneh. Sementara itu dua orang gadis menatapnya dengan tatapan sendu.

Rala berlari tidak tentu arah, yang pastinya dia tidak ingin berada di ruangan itu. Meskipun kepalanya semakin sakit dan penglihatannya buram Rala tetap memaksakan untuk berlari, ditambah lagi dua orang peri penjaga mengejarnya. Rala tidak ingin tertangkap, dia tidak ingin dibuang dari Ravane, dia tidak ingin membuat ibunya sedih. Karena tekadnya itulah Rala masih bisa menahan tubuhnya agar tidak pingsan.

Tapi Rala hanya seorang gadis biasa yang tidak memiliki sihir apa-apa, dirinya tidak bisa menahan sakit yang terus menghampirinya. Pada akhirnya Rala jatuh pingsan di gerbang Akademi Ravane.

**********

Waaah gimana nih, ketahuan Rala nya nggak punya kesaktian 😱
Gimana ya nasib Rala setelahnya.
Kalian pengennya satu bab itu minimal berapa kata sih, soalny ak sebagai author aja ngerasa 1000 kata itu pendek banget 😭

RIZARTH : TOGETHERNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang