02 • Rantai Makanan

349 44 55
                                    

BAB 2
- Rantai Makanan -

•••

Seminggu yang lalu.

"Sampai kapan kalian mau menumpang sama gue dan Papa?"  Alice meraih kunci mobil di atas meja, melirik ke arah dua orang paling mengesalkan yang sedang sarapan.

Menyedihkan.

Alice tidak pernah suka dengan mereka. Baginya, mama tiri dan adik tirinya itu, merupakan orang tidak tahu diri yang datang tidak diundang, dan bahkan menumpang hidup di kediaman mewah keluarganya.

"Untungnya Papa lagi di luar kota. Jadi, gue nggak harus berbagi meja sama kalian." Alice melanjutkan ucapannya. Suara bantingan pintu terdengar, ia keluar dari dalam rumah.

Pria yang duduk di meja makan menoleh ke arah pintu, tidak kaget lagi dengan perilaku kasar sang kakak.

Atlas Dharmendra, namanya.

Kedua tangannya mengepal kuat, ia tidak mengambil sikap tegas dan memilih untuk tidak melawan karena Lina, mamanya.

Yang dikatakan Alice tidak sepenuhnya salah. Lina menjadi istri kedua dari seorang pengusaha sukses bernama Haryo Dharmendra tanpa sepengetahuan istri pertama.

Setahun yang lalu, Anya---panggilan untuk mama Alice--- meninggal dunia karena serangan jantung. Begitulah, cara Haryo memasukan Lina dan Atlas di dalam keluarganya.

Pandangan Atlas tertuju pada Lina yang tengah menyuap nasi dengan wajah lesu dan sedih.

"Suatu saat Alice bakal menerima kita di sini," kata Atlas mencoba menenangkan Lina.

Bagi Atlas. Kembali ke kehidupannya yang dulu bukanlah hal yang buruk. Tapi, Lina masih bersikeras untuk tetap tinggal dan menemani Haryo.

"Mama harap juga seperti itu, Las."

•••

Atlas turun dari motor besar miliknya. Melepaskan helm full face itu dan memasang hands free untuk mendengarkan musik di pagi hari. Ia selalu melakukan itu, untuk menaikan moodnya karena Alice.

Tidak di rumah atau di sekolah, Alice sama menyebalkannya. Bahkan ... berkat Alice, Atlas tidak bisa menikmati masa putih abu-abuhya.

Atlas berjalan melewati lorong menuju kelas X IPS 5. Seragam yang dikeluarkan dengan penampilan urakan yang jauh dari kata rapi adalah ciri khasnya. Wajah datar itu menjadi temeng Atlas agar orang-orang tidak mendekat atau mengajaknya berteman.

Semuanya ia lakukan dengan sengaja dan terencana. Altas hanya pembuat masalah, yang berharap segera dikeluarkan dari sekolah.

Berada di satu sekolah dengan Alice, benar-benar tidak menyenangkan. Selain Alice, Atlas juga tidak suka itu. Mereka berdua, tidak bisa pura-pura tidak saling mengenal saat nama belakang mereka kebetulan sama.

Tiba di depan kelas. Langkah Atlas terhenti saat seorang gadis dengan rambut terkepang dua dengan make up cerah melebarkan tangan.

Pupil Atlas melebar, matanya mengarah pada tag name di seragam yang bertuliskan 'Raihana Kana Utami'.

"Kenapa?" tanya Atlas dingin.

"Jadi, lo yang namanya Atlas?" tanya Kana berdiri di depan pria itu.

"Iya, kenapa?!" jawab Atlas nyolot.

"Kemarin ... pas upacara di lapangan, lo nabrak gue. Lo ingat, kan?"

Atlas nampak berpikir, atau lebih tepatnya pura-pura berpikir.

"Nggak ingat!" jawab Atlas pada akhirnya.

"Ishhh, nyebelin banget, sih. Intinya lo nabrak gue, dan lo ngerusakin ini!" Kana mengeluarkan selembar kertas yang ia lipat dengan rapi, dari dalam saku rok.

"Ini kertas doang, apanya yang rusak?"

"Kebalik itu!"

"Oh." Atlas membalik kertas itu, lalu menyadari bahwa kertas yang sedang ia pegang itu adalah lembar jawaban dengan nilai sempurna dicetak dengan tinta hitam yang pekat.

"Lo udah ngerusakin kertas gue!"

Atlas menyadari tidak ada yang salah dari lembar kertas tersebut. Selain nilai seratus untuk mata pelajaran matematika di sana.

"Rusak yang mana?!"

"Ini, loh ...." Kana menunjuk nilainya.

"Kan, 100?"

"Apaan sih, bukan itu tahu! Ini ujungnya sobek gara-gara lo!!"

Altas terkekeh geli, ia memang melihat sobekan kecil berukuran tiga senti itu. Tapi, tidak menyangka bahwa seorang gadis akan datang padanya dan mempersalahkan hal sekecil itu.

"Terus lo, mau apa?"

"Minta maaf! Karena, bagaimanapun, lo yang salah," tuntut Kana, ia berkacak pinggang.

"Ogah!"

"Minta maaf!"

Altas tersenyum jahil, ia meraih lembar jawaban itu dari tangan Kana.

"Kalau begini, baru gue bisa minta maaf."

Kreeeek ....

Mata Kana melotot, sementara tubuhnya terdiam, bersama dengan suara robekan kertas yang terdengar.

Atlas merobek kertas itu menjadi dua bagian lalu melemparkannya di udara.

"Maaf untuk ini," kata Atlas sengaja.

Sisa Rasa (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang