06 • Sisi Gelap Dharmendra

247 42 51
                                    

BAB 6
- Sisi Gelap Dharmendra -

•••

Suasana di meja makan nampak tenang. Hanya ada suara dentingan sendok yang terdengar, mengisi keseluruhan ruangan.

"Guci kesayangan Papa mana, ya?" Haryo sudah selesai makan lebih dulu. Meraih tisu lalu mengelap sudut bibirnya penuh wibawa.

Pria paruh baya dengan kacamata yang selalu bertengger di hidung mancung, menatap sekitar. Merasa kehilangan salah satu benda berhaganya.

Haryo merupakan penyuka gerabah dan bermacam kerajinan tangan yang bernilai tinggi. Menjadi koleksinya sudah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

"Pecah, Pah." Alice buka suara, meraih gelas berisi air mineral lalu meneguk cairan bening itu lahap.

"Pecah?" Mata Haryo terlihat terkejut.

"Iya, Pah." Alice menunduk, mengalihkan pandangan tajamnya pada Daffa.

"Maaf, Pah. Atlas nggak sengaja pecahin guci, Papa." Atlas menyela pembicaraan Haryo dan Alice. Mengakui dengan berani kesalahan yang tidak ia lakukan.

Haryo menatap Atlas tidak habis pikir. Anak laki-laki yang ia harapkan sebagai penerus nampak tidak berguna sama sekali.

"Atlas, kamu lagi! Tidak di sekolah dan di rumah, kerjaan kamu bikin masalah aja!" Haryo marah besar. Ia memukul meja, membuat semua orang kaget bukan main.

"Mas ...." Lina mencoba menenangkan sang suami. Tidak tega, jika Atlas harus kena marah Haryo.

"Atlas ikut Papa!" perintah Haryo yang tidak bisa dihindari oleh Atlas. Haryo berjalan lebih dulu, menuju ruang kerjanya disusul dengan Atlas yang membuntuti di belakang.

Pintu ruang kerja Haryo tertutup dengan suara keras bantingan pintu. Tidak lama terdengar suara penuh amarah Haryo, dan pukulan-pukulan dengan tongkat kayu khusus yang selalu diberikan pada Atlas, apabila pria itu membuat masalah.

Wajah khawatir Lina tidak bisa dibohongi. Ia mengetuk-ngetul pintu, berharap Haryo memberi keringanan pada sang putra.

Melihat pemandangan seru dan menyenangkan itu. Hati Alice berdebar bahagia. Bibirnya tersenyum lebar.

Membalikan badan, meninggalkan ruang makan. Alice menuju kamarnya yang ada di lantai dua. 

"Parasit harus segera dibasmi."

Dengan cara apapun, Alice akan membuat ibu dan anak itu segera angkat kaki dari kediamannya.

•••

"Congrats!" Jihan menyalami Kana sambil melompat-lompat girang.

"Temen setan lo, Jihan!" sindir Kana sengaja. Semoga dengan itu, Jihan bisa sadar diri dan menarik dare-nya.

"Thanks to me, berkat gue, nih. Lo jadi lupa 'kan, sama Bastian?" Jihan mengibaskan rambut, pamer dengan cara jitunya yang berhasil membuat Kana lupa mantan.

"Lupa sih lupa. Tapi, beban pikiran gue nambah."

Tidak merespon lagi, Jihan hanya tertawa bahagia. Ciri-ciri teman yang bahagia di atas penderitaan sahabatnya.

"Satu lagi, Kan. Salut gue, lo totalitas banget jalanin peran sebagai pacar Atlas."

"Apa lagi?"

"Foto lo berdua dia, di instagram."

"Perlu lo tahu! Itu, bukan gue yang posting ... itu ulah jahil Atlas." ralat Kana memberitahu tidak ingin Jihan salah paham.

"Oooh ya, bagus dong! Pertahanin, sampai Bastian lihat."

"Gimana mau lihat, orang dia ngeblokir semua nomor dan medsos gue."

"Iya juga, sih. Emang babi bener mantan lo, tuh."

"Iya. Babi yang bikin sakit hati."

"Jangan berlarut-larut sakit hatinya, lo udah punya ayang Atlas ...."

"Sedeng lo!" teriak Kana, meleparkan pulpen ke arah Jihan yang berada di ambang pintu. Namun, tidak tepat sasaran karena Jihan bisa dibilang cepat menghindar.

Menatap kepergian Jihan yang berpamitan ke ruang dance untuk latihan cheerleaders.

Kana merasa kesepian, is memilih untuk berkeliling-keliling di sekitar seluruh kelas sepuluh dari segala jurusan, untul membasmi rasa gabut.

•••

"Dia pacarnya Kana?"

"Kana Utami itu?"

"Kena pelet apa Kana, sampai mau sama anak haram begitu?"

Langkah Atlas terhenti, gunjingan beberapa orang yang tidak tahu diri itu, jelas tertuju padanya.

'Anak haram' adalah panggilan yang benar-benar benci ia dengar. Dan, satu-satunya orang yang menyebarkan ejekan itu, di sekolah hanyalah Alice.

Meski mengetahui pelaku yang tidak lain dan tidak bukan adalah saudara tirinya, Atlas tidak bisa berbuat banyak. Selain, bersikap tidak acuh.

"Woy, Jamet!"

Mendengar panggilan sayang yang anti mainstream itu, membuat Atlas menoleh ke belakang.

"Apa?" tanya Atlas singkat. Terlihat tidak mood.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Kana peduli. Ia melihat wajah memar Atlas, ngeri sendiri. Ditambah ejekan orang-orang yang ia dengar tanpa sengaja, Kana khawatir jika Atlas mengambil hati.

"Gue curiga lo begini, ada maunya!"

Kana mendengus kesal. Memang lebih baik, jik Kana mengabaikan pacar satu bulannya itu. Tidak bisakah, Atlas melihat niat sungguh-sungguh Kana?

"Nggak jadi peduli deh, gue!" Kana menggeleng. Batal niat hati, ia menarik kembali ucapan khawatirnya itu.

"Iya, iya, iya. Kalau gitu, apa lo bisa peluk gue sebentar, aja?"

Kana menatap Atlas. Tidak bisa membedakan permintaan itu serius atau bercanda.

"Nggak usah modus, deh!" Kana menolak.

Tapi, detik berikutnya ia hanya bisa mematung. Saat Atlas menarik tubuh Kana ke dalam pelukan hangatnya yang erat.

"Gue nggak begitu baik-baik aja, hari ini."

Sisa Rasa (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang