prolog

8.7K 640 50
                                    

1 Januari 2016

Lelaki itu masih termangu di posisi dengan tatapan kosong. Wajahnya begitu kuyu dan kacau. Sesekali terdengar isakan pilu dari bibirnya yang merembes mengeluarkan darah. Ia menangis dalam diam sebab air matanya sudah kering. Kepalanya terasa memberat dengan tubuhnya yang bisa saja tumbang. Sosoknya begitu lemah dan rapuh.

Sedari tadi bibirnya sesekali mengucapkan seuntai kata, berharap semua orang yang menyalahkannya bisa memaafkan kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia ingin menyalahkan keadaan yang membuat hidupnya serumit ini, sedetik pun ia merasa tidak nyaman.

Sesak, sakit dan pedih. Semuanya telah menjadi satu. Sesakit itu hingga angan untuk sembuh tak ada lagi. Ia menderita dengan dunia yang terus-menerus menyiksanya. Seolah ia akan lumpuh tidak bisa bergerak. Mungkin ia sudah sekarat hingga tidak bisa merasakan napasnya yang menghangat. Matanya seolah dibutakan dengan kegelapan dunia yang tidak berniat memberinya warna.

Lelaki itu spontan memegangi kedua telinganya yang berdengung hebat. Kalimat-kalimat yang selalu menghantuinya seakan memorakporandakan pertahanannya yang melemah. Apa hujatan itu tidak cukup hingga mereka gencar melukainya tanpa belas kasih. Walau sekujur tubuhnya mengeluarkan darah, mereka tetap menghantamnya hingga luka itu membakar tubuhnya secara tragis.

Menarik napas lemah, ia mulai melangkah sempoyongan mendekati bak air yang sedari tadi ia tatap. Sengaja air keran ia alirkan, hingga terisi penuh. Tubuhnya semakin gemetar hebat menyentuh permukaan air yang terasa dingin. Pantas karena sudah dini hari.

“Dasar pembunuh! Kembalikan nyawa istriku!”

“Lebih baik kau mati karena tidak akan ada yang peduli.”

“Sungguh! Dia membunuh ibunya. Dia anak yang durhaka.”

Umpatan itu semakin membuat kepalanya sakit luar biasa, seolah diremuk sedemikian rupa. Menatap sendu air kolam, ia mulai masuk ke dalam. Pelan-pelan menenggelamkan tubuhnya di dasar kolam.

Sepertinya jalan satu-satunya untuk mengakhirinya sekarang. Raga dan batinnya sudah tidak berdaya, percuma ia bertahan jika dunia terus saja menghantamnya derita.

Dua puluh detik berlalu, Alfa membiarkan air itu merangkulnya. Dingin dengan rasa pedih di sekujur tubuhnya tidak ia hiraukan. Tinggal beberapa detik lagi semuanya akan lenyap. Rasa sakit itu akan binasa. Ia akan terbebas dengan kejamnya dunia.

“Alfa! Kamu jangan jadi pengecut. Kamu seorang kakak jadi wajib melindungi adikmu.”

Dalam kolam Alfa mengulas senyum pedih mendengar kata sang ibu. Seperti biasa, ibunya menuntutnya untuk melindungi Aksa. Jika saja ia menjadi Aksa, apa semuanya akan berbalik?

Alfa sudah lelah, ia tidak peduli dengan semuanya. Cukup selama itu ia pasrah selalu diinjak tanpa pembelaan. Ia juga punya batas kesabaran untuk menyerah. Saking sakitnya, ia ingin menghilang.

Remang-remang penglihatannya semakin menggelap. Napasnya semakin tersengal-sengal butuh oksigen untuk ia hirup. Namun ia malah membiarkan air bak memasuki rongga mulut dan hidungnya. Ia bisa merasakan sesak yang luar biasa dahsyat.

Sepertinya ini sudah akhirnya, kesadarannya sepertinya akan berakhir sekitar satu detik lagi. Sebentar lagi ia akan bebas.

Alfa, aku akan tetap bersamamu, sampai akhir apapun yang terjadi.”

Mendengar suara yang entah dari mana asalnya membuat kesadarannya kembali. Tubuhnya bahkan spontan ia keluarkan dari bak.

***


“Kumohon bersamaku sampai akhir,”

“Jangan pernah menganggapku papamu! Kau itu anak pembunuh! Kau membunuh istriku!"


“Seandainya kau bisa merangkul bulan seperti itu.”

Aku berjanji akan ada di sisimu, sampai kapan pun,”

Mungkin aku cuma mengabaikanmu, tapi merebutnya dariku, aku tidak akan diam lagi. Brengsek! Kupastikan kau mati!”

“Kamu jarang tersenyum, tapi senyuman di matamu bagaikan cakrawala yang menghiasi hatiku.


“Kenapa rumah pohon? Kenapa di bukit? Karena di sini bulan lebih menawan terlihat.”


“Walau luka ini membakarku bisakah kau tetap menjadi dokterku?”


“Kau sudah hampir mati tapi kau ingin mengorbankan jantungmu untuk dokter kecilku.”

***

Baru awal sudah nampak sadnya

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang