19. Akurat

839 160 13
                                    


Hanya terdengar suara sendok di meja makan. Begitu hening tanpa satu pun dari kami berbicara. Tapi tetap saja, tatapan ibuku tetap tajam. Melihatnya mengiris daging dengan pisau, membuatku menggigit bibir.

“Laura! Sebentar lagi kau ujian penaikan kelas?” Akhirnya ayahku menyahut untuk menghilangkan keheningan.

Aku pun mengangguk lalu tersenyum tipis. “Lusa, Pa,” jawabku.

“Laura! Kau pasti paham kan harus berhasil di ujian ini. Mama tidak mau tahu jika satu pun hasil ujianmu ada yang tidak memuaskan,” peringatannya.

Tentu yang harus aku lakukan adalah menurut. Sebagai anak, aku memang seharusnya belajar untuk seperti Kak Alan. “Iya Ma, aku mengerti,” desahku.

“Satu lagi, mulai sekarang kau tidak diizinkan keluar. Apa pun alasannya, jangan kabur di apartemen kakakmu. Kau punya tempat tinggal, berada di sana akan menyusahkannya,” ujarnya penuh penekanan.

Aku langsung meliriknya, tentu tidak setuju. Sejenak menghela, aku menatap ibu datar. “Tapi Ma, berada di rumah akan membuatku bosan,” aduku.

“Jadi belajar membuatmu bosan? Kau sudah besar, bukan anak kecil yang merengek untuk bermain-main di luar!” sosornya dengan suara meninggi.

Aku pun meletakkan sendok dan garpu di meja. Sejenak aku melempar pandangan tidak suka pada ibu. Bahkan aku tidak menghiraukan ayah yang memanggilku saat pergi tanpa pamit. Sungguh membuatku jengkel setengah mati.

Sesampainya di sekolah, aku langsung duduk di bangkuku. Menyadari jika hari masih pagi, membuatku melipat lengan lalu menindurkan kepala di atas meja. Aku ingin tidur karena mataku lelah akibat belajar terlalu larut.

“Hoy! Kalian harus keluar, ada tontonan yang seru!” teriak seseorang. Aku yang terusik langsung mengangkat kepala, kini kukucek mata melihat sekitar. Ternyata sudah banyak siswa yang datang.

“Sungguh! Ada perkelahian?” tanya seorang lelaki. Lalu disusul oleh kumpulan lelaki lainnya untuk keluar. Siswa perempuan pun tidak mau ketinggalan.

Melihat Yuna yang baru masuk, membuatku langsung bertanya. Ternyata anak itu juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Cika tidak bersamamu?” tanyaku.

Yuna menggeleng. “Aku diantar Papa, jadi menyuruhnya tidak menjemputku,” jawabnya.

“Kalian berdua, tidak tahu jika Cika bertengkar dengan Sahra!” pungkas Retno yang baru datang.

Aku dan Yuna langsung mendelik, tentu kami tidak tahu apa pun. Aku pun langsung menarik Yuna menyusul Retno keluar.

Saat sampai ke lokasi, dapat kulihat Cika dan Sahra saling menarik rambut satu sama lain. Tidak ada yang berani untuk melerai keduanya. Keduanya bahkan beralih saling mencakar.

Hingga beberapa rombongan perempuan pun datang, sudah dipastikan itu teman-teman Sahra. Mereka pun langsung menarik Cika yang masih saja menarik rambut Sahra.

“Hentikan! Tidak pantas kau menyentuh Sahra apalagi melukainya!” bentak seorang perempuan. Ia adalah Elen yang andal dalam karate.

Cika yang masih emosi pun tidak mau kalah. “Sekarang kau memanggil kawanammu untuk datang. Dasar pengecut, kalian sama saja!” semburnya meledek.

Elen pun menyuruh Sahra mundur, kini ia sendiri yang berhadapan langsung dengan Cika. “Akan kuremukkan bibirmu itu!” gertaknya mulai melenturkan lengannya.

Ternyata mereka lebih licik, dua orang kini memegangi Cika agar dia tidak bisa bergerak.

Menit selanjutnya, Elen pun maju sambil mengepalkan tangannya begitu erat. Ia bermaksud memukul Cika yang berusaha untuk terbebas. Sekarang aku tidak tahan lagi dengan kelakuan mereka.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang