20. Lamban bergerak

880 158 26
                                    


Sedari tadi, aku menggenggam tangan Alfa karena cemas, kami sekarang berada di toko roti tempatnya bekerja. Sungguh perasaanku takut melihat data-data yang berisi hasil ulangan semester kemarin di laptopku. Bu Dian baru saja mengirimkannya.

"Laura, nilaiku meningkat," pungkas Alfa melihat nilainya di semua mata pelajaran.

Aku sudah yakin jika nilainya akan bagus, angkanya 95 ke atas. Lalu bagaimana dengan nilaiku? aku takut jika ada satu mata pelajaran di bawah 90.

Saat Alfa membuka nilaiku, dengan sigap aku menarik telapak tangannya untuk menutupi mataku. Aku tidak berani melihat nilaiku sendiri. Kuyakin pasti Alfa tertawa melihat aksiku.

"Laura! Kau tidak mau melihatnya?" tanyanya berniat menarik telapak tangannya, tentu aku langsung menariknya kembali.

"Alfa, aku takut nilaiku hancur," ujarku.

"Memang kenapa kau setakut itu?" celetuknya.

"Mamaku akan menjual mobilku," ungkapku. Rasanya menyedihkan harus kehilangan mobil kesayanganku.

"Sebenarnya, ada beberapa nilaimu yang di bawah," ungkapnya terdengar serius.

Aku pun menarik napas pasrah lalu menurunkan telapak tangannya. Mataku ragu-ragu untuk terbuka, rasanya aku ingin menangis sekarang.

Setelah melihat hasilku, aku langsung mendelik ke arah Alfa, bisa-bisanya lelaki ini berbohong jika nilaiku berada di bawah. "Alfa, kau membohongiku," cetusku cemberut.

Alfa pun berusaha tidak tertawa. "Tidak! Nilaimu memang berada di bawahku," katanya yang kini menarikku menempeli tubuhnya.

Aku pun berusaha menjauhinya, tapi sepertinya Alfa bersikukuh menarikku. Otomatis kursi kayu yang tidak punya sandaran yang kami tempati langsung terjatuh ke belakang membuat kami terjungkal.

"Alfa!" pekikku lalu tergelak. Beruntung punggungku terjatuh di tumpukan buku dan majalah.

Berlainan dengan Alfa, lelaki itu pasti merasakan nyeri di punggungnya karena langsung menempel di lantai. Sepertinya ia tidak mau membuatku cemas hingga ia langsung bangkit.

"Kamu tidak apa-apa? Maaf, seharusnya aku tidak begitu," katanya menyesal. Ia pun membantuku bangkit.

Jujur aku ingin tertawa melihat ekspresi cemasnya. "Aku tidak apa-apa, wajahmu jangan lesu juga," timpalku memegang wajahnya. Kini kami duduk di lantai.

"Aku takut jika membuatmu terluka," cicitnya menunduk.

Sejenak menghela, aku angkat wajahnya memandangiku. "Aku tidak akan terluka karena kamu selalu menjagaku," ulasku meyakinkannya.

Alfa mulai tersenyum lalu merapikan rambutku. "Tapi kali ini, aku gagal, malah membuatmu ikut terjatuh."

"Tidak sakit karena jatuh bersamamu," balasku.

Tiba-tiba terdengar suara deheman dari belakang, aku langsung malu mendapati Yuna dan Cika berdiri di balik pintu ruang baca. Ini memang perpustakaan kecil milik paman Yuna.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Cika dengan matanya begitu selidik menatap kami.

"Padahal baru beberapa menit aku tinggal keluar. Apa yang kalian lakukan saat berbaring di lantai?" tuntut Yuna ikut-ikutan.

Aku langsung bangkit lalu menghampiri keduanya. "Tidak seperti itu, kami berdua terjatuh karena kursi itu," tunjukku ke kursi panjang yang kami duduki tadi.

Sebenarnya aku kesal dengan Alfa, lelaki ini hanya tersenyum tidak membantuku membela diri.

Terlihat Cika mengulas senyum jahil. "Sepertinya kita yang salah masuk ruangan, mengganggu orang lagi bermesraan," kata Cika menarik lengan Yuna pergi.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang