4. Ungkapan rasa

1.6K 261 35
                                    


Sedari tadi Cika memukuli punggungku pelan. Aku terpaku, melongo menatap lelaki yang kini berjalan santai ke arah kami.

Sepertinya ia akan ke arahku melihat netranya sama sekali tidak lepas dari pandanganku. Sejenak kulirik Yuna dibelakangku yang diam sambil menunduk.

Mataku semakin mengerjap karena lelaki yang selalu melayang di ekspentasiku berdeham lalu tersenyum cerah. Entahlah, seolah batinku langsung tertarik untuk memasuki jiwanya.

Cika berbisik tepat di telingaku." Kami pergi duluan, jangan menyia-nyiakan kesempatan ini." Perempuan itu mulai menjauh sambil menarik tangan Yuna.

Kepalaku masih mengingat pesan dari Aksa sekitar sejam yang lalu. Kukira lelaki ini bercanda, ternyata ia serius.

Buktinya ia menenteng tasnya menunggu tepat di depan pintu kelas. Aku merasa kebingungan sekaligus bahagia. Kulihat beberapa siswa menatap iri ke arahku.

"Kau tidak sungkan kuajak?" tanyanya pelan.

Aku termangu lalu mengangguk perlahan. Bersyukur jika Aksa sudi mengajakku. Senyumannya begitu sejuk, bahkan napasku langsung menghangat saat dia meraih tanganku menuntunku berjalan.

"Kau tidak perlu ke kelasku, itu pasti merepotkan," ujarku tidak enak.

Mataku spontan mengerjap saat dia mengelus lembut puncak kepalaku. Seperti anak kucing yang dielus lembut oleh majikannya. Apa aku semenggemaskan itu?

"Kau ternyata sangat lucu dan cantik. Kita bisa dekat mulai sekarang," ulasnya masih saja mengelus lembut rambutku. Beruntung aku habis keramas tadi pagi, jadi tidak menjadi masalah.

Kini Aku tersenyum tipis. "Aku bisa menjadi temanmu," kataku ramah.

Tampak Aksa bergeming sambil menarik tanganku, tatapannya terlihat sendu.

Kudengar Aksa mendesah pelan. "Padahal aku mau lebih dari itu," decitnya.

Aku meneguk ludah menyerap penuturannya. Seakan kalimat itu langsung meresap cepat di benakku. Sekarang otakku berputar keras mencari asumsi dari perkataannya.

"Maafkan aku, apa aku salah bicara?" sesalku yang membuatnya tergelak pelan.

"Tidak! sepertinya aku yang berharap lebih," decaknya.

Aku pun mengedarkan pandangan ke sekitar. Ternyata tinggal kami berdua yang masih berdiri di depan kelas.

"Lebih baik kita pulang sekarang," tegurku semakin tidak nyaman.

Aksa pun mengangguk lalu menarik tanganku. Tentu membuatku bingung dengan perlakuannya yang semakin mengejutkan.

"Maaf aku bawa motor, apa tidak masalah memboncengmu?" tanyanya ragu.

"Oh, tidak!" jawabku. Sebenarnya aku sedikit takut dengan kendaraan ini.

"Ini untukmu, pakailah," ucapnya menyodorkan helm.

Ternyata ia sudah menyediakannya.
Aku pun menerimanya lalu memasangnya di kepala. Namun aku kesusahan dengan kaitannya.

Terpaksa Aksa membantu untuk mengaitkannya. Sangat menjengkelkan jika memakai helm saja aku tidak bisa.

"Motorku tinggi, apa kau bisa naik?" tanyanya menatapku di balik helmnya. Tampak ia begitu keren.

"Iya," jawabku naik di jok belakang. Beruntung aku tidak terlalu pendek, jadi tidak menyusahkannya lagi.

"Pegangan yang erat, aku kencang bawa motor," titahnya.

Aku pun menurut sambil memegang ujung jaketnya. Namun tiba-tiba tangan Aksa menarik tanganku agar memegangi pinggangnya. Spontan jantungku langsung berdebar hebat.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang