22. Terbunuh Penyesalan

897 153 2
                                    

Rekomendasi lagu Eddy Kim, When night falls.
Atau putar lagu sedih kalian

***

"Maaf, kamu hanya bisa sampai di sini," tegur seorang suster menghalangi tubuh Alfa untuk melangkah masuk.

Alfa berusaha menarik napas, ia sedari tadi begitu kalut melihat Laura yang bersimbah darah. Tidak kuat menopang tubuhnya, ia pun merosot sambil menyandar di dinding. Tubuhnya sedari tadi gemetar hebat, bahkan bajunya ternoda darah milik Laura.

"Laura, kumohon. Kau harus kuat," lirihnya dengan air mata yang mengalir deras. Sungguh wajahnya begitu kacau.

Alfa hanya bisa menunduk sambil berdoa pada tuhan, agar Laura bisa selamat.

Orang tua Laura pun datang. Ibu Maya begitu kacau dengan air matanya yang berlinang, walaupun ia begitu keras pada anaknya tapi ia begitu menyayanginya.

Alan pun ikut masuk ke UGD. Ia ingin memastikan sendiri apa yang terjadi dengan adiknya.

Alfa hanya bisa menekuk lututnya karena ketakutan. Ia tidak pernah secemas ini.

Ibu Maya pun mendekati Alfa, tatapannya kini menajam.

"Ini karena kamu! Karena berada di sekitarmu, anakku menjadi begini. Setelah membunuh ibumu kau juga mau membunuhnya!" sembur Bu Maya dengan dada naik turun. Ia menunjuk Alfa bermaksud mencemoohnya.

Alfa menggeleng pelan, lidahnya seolah lumpuh untuk berucap. "Maaf Tante, aku lalai menjaganya," sesalnya.

Plak!

Bukk!

Bu Maya pun menampar pipi Alfa, lalu menghempaskan kepalanya ke dinding. Ia bahkan berniat mencakar wajahnya, beruntung suaminya langsung mencegahnya.

"Hentikan! Ini kecelakaan, bukan salahnya," cetus Pak Rangga menahan tangan istrinya agar tidak menyiksa Alfa lagi.

"Tapi Laura jadi seperti ini karenanya, dia memang anak pembawa sial!" teriaknya.

Hujatan itu tentu membuatnya sakit hati, itu adalah peringatan keras agar ia menjauhi Laura. Memang ia tidak pantas untuk perempuan itu. Seharusnya dia yang perlu sadar diri.

"Maaf," cicitnya penuh penyesalan.

"Pergi! Jangan mengganggu anakku lagi!" usir Bu Maya.

Alfa berusaha menahan dirinya agar tidak terjatuh, tamparan Ibu Laura sangat menyakitkan. Bukan pipinya, tapi hatinya yang terluka. Menarik napas kuat-kuat, ia pun memilih duduk di kursi pojok ruang tunggu. Ia tidak akan pergi sebelum memastikan Laura baik-baik saja. Memang ini salahnya.

"Laura, jangan pergi. Jika kau pergi, aku tidak punya dokter lagi. Kau yang selalu menyembuhkan luka dan hatiku. Jadi kumohon, jangan membuatku sendirian," pintanya dengan air mata yang belum berhenti mengalir. Bahkan hidungnya sudah memerah seperti terserang flu.

"Jangan membuatku takut Laura, di sini sunyi dan dingin tanpamu," sambungnya berusaha menahan tangis. Tetap saja air matanya masih lolos.

Kini Alfa menatap lekat gelang pemberian Laura yang kini ternoda darah. Bibirnya bergetar lalu mencium motif bulan di gelang itu. Perasaannya semakin kacau tak menentu. Ia begitu takut kehilangan.

"Bulan, kumohon jangan rangkul Laura dulu. Aku masih butuh rangkulannya." Isak tangisnya semakin memilukan.

***

Setelah memakai pakaian medis, Alan langsung bergabung dengan dokter dan suster yang menangani Laura. Sedari tadi perasaannya begitu terguncang mengetahui jika adiknya kecelakaan.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang