12. Merasa asing

955 193 26
                                    

Terbilang satu minggu Cika belum mengajakku berbicara, terpaksa aku selalu makan sendirian di kantin. Terkadang juga menemani Alfa dengan Kucingnya di belakang gedung sekolah. Mengenai Aksa, lelaki itu tidak pernah mengajakku keluar seperti biasanya. Dia hanya memberikan pesan singkat untuk menyuruh makan, belajar lalu istirahat. Kenapa mereka semua menjauh di saat bersamaan? Beruntung masih ada Alfa yang senantiasa mendengar celotehku perihal ketiga orang itu.

Kini aku berjalan tak menentu melewati lapangan sekolah, Aksa sudah jarang bermain basket seperti biasanya. Apa menjadi ketua OSIS begitu sibuk hingga ia tidak punya waktu untukku. Sungguh aku merindukannya.

Tak tentu arah, aku melirik sekitar. Mataku sontak memanas melihat sosok yang sedari tadi kupikirkan berjalan dengan perempuan. Keduanya terlihat asyik mengobrol, terutama Sahra semakin menempeli Aksa.

Mengatupkan mulut, aku menghentikan langkah memandangi keduanya terang-terangan. Sepertinya Aksa melihatku, matanya mulai bergerak gelisah.

Seolah patah hati melihatnya berjalan dengan mantannya, terasa diremuk sedemikian rupa. Aku menggigit bibir lalu berlari, melihat mereka semakin membuatku cemburu.

Langkahku berhenti tepat di taman sekolah, kini kududukkan bokong di kursi beton dibawa pohon rindang. Kupandangi sekeliling yang terlihat sepi, barulah kepalaku bertumpu di lutut.

Tiba-tiba sebuah belaian hangat mengelus puncak kepalaku. Air mata yang lolos buru-buru kuhapus dengan punggung tangan.

“Laura,” seru seseorang.

Aku langsung mengangkat Kepala. Ternyata Aksa mengikutiku ke sini. Melihatnya semakin membuatku menangis.

Aksa langsung ikut duduk, ia tarik kepalaku ke pundaknya lalu memperbaiki letak anak rambutku. “Kenapa kau menangis?” tanyanya.

Bibirku mencebik, apa dia tidak paham jika aku cemburu dengan mereka berdua. Katanya ia membenci Sahra lalu kenapa mereka Kembali dekat. Ini bukan pertama kalinya melihat mereka berjalan dan berada di ruang yang sama.

“Bukannya kau lebih pintar, kenapa kau tidak tahu kesalahanmu,” ketusku menarik kepala dari pundaknya.

Aksa langsung menggenggam kedua tanganku. “Kami hanya menjalankan tugas, kau tahu jika aku ketua OSIS dan Sahra adalah sekretaris, jadi tidak luput jika kami sering bersama,” ungkapnya.

Aku bergeming lemah lalu mencebik. “Tetap saja aku takut,” keluhku.

“Ingat Laura, kau pacarku. Aku tidak punya hubungan lagi dengannya,” tuturnya menyakinkan.

Sejenak aku tenang dengan penuturannya. Tetap saja ada gejolak keraguan di benakku. Aku takut Sahra mengambil posisinya kembali.

“Aksa, sebesar apa kau mencintaiku?” tuntutku menerawang netranya.

Aksa nampak kelabakan mendengar itu. “Aku berjanji akan mencintaimu sampai kapan pun,” desahnya.

“Nanti saat hatiku bukan untukmu, apa kau masih mencintaku?” sosorku. Aneh karena bibirku langsung berkata demikian.

Aksa langsung berhambur memelukku, seolah ia tidak ingin kehilangan. Bahkan sangat erat takut jika aku menjauh darinya.

“Kumohon, jangan pergi dariku,” pintanya bergumam.

***

Aksa sudah kembali setelah menemaniku sebentar di kelas, kini kukeluarkan buku dari laci menunggu bel masuk berbunyi. Alfa belum datang, entah apa yang anak itu kerjakan di luar.

Saat membuka halaman buku, tiba-tiba Zela masuk membawa undangan lalu membagikan pada teman-temannya. Menyadari ia menatapku tajam membuatku menunduk.

Sampai sekarang Cika belum mengajakku bicara, apa aku yang perlu minta maaf kepadanya? Diacuhkan begini sangat menyebalkan.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang