10.Kecewa

1.1K 197 54
                                    

Pagi ini, aku sengaja pergi awal ke sekolah agar tidak bertemu dengan Ibu. Pasti ia akan membuat selera makanku lenyap. Sungguh aku tidak berniat mendengar mulutnya yang berceloteh.

Sebelumnya, aku mengirimkan Aksa pesan agar ia tidak menjemputku dulu. Aku tidak mau membuatnya kelelahan karena ada pertandingan basket dengan sekolah lain.

Sepertinya aku datang cukup pagi, siswa yang datang bisa kuhitung jari. Namun sosok lelaki yang berjalan ke gedung belakang sekolah menarik atensiku. Tentu aku mengikutinya.

Bersembunyi di balik pohon, aku mengamati Alfa yang kini berjongkok menghadap semak-semak. Lelaki itu terdengar mengeong hingga seekor anak kucing keluar dari dalam semak.

Alfa pun mengelus lembut kucing itu, ia tersenyum saat kucing menjilati tangannya. Senyumannya semakin lebar saat merangkul kucing.

Mataku seolah terkunci oleh sorotannya, ini pertama kalinya melihatnya tersenyum. Senyuman itu seolah menyihirku. Kini Alfa mengeluarkan kotak bekalnya. Sepotong ikan ia berikan pada kucing itu. Jadi selama ini ia membagi bekalnya dengan si kucing.

Alfa pun duduk di akar pohon rindang, ia menjadikan penutup kotak bekalnya sebagai wadah makanan si kucing. Setelah itu, ia ikutan makan di sana.

Terlihat Alfa lahap memakan nasi gorengnya, menu yang sama saat ia memberikanku kemarin. Sesekali lelaki itu mengelus lembut bulu si kucing.

“Kau tidak mau bergabung!” seru Alfa.

Aku spontan terkesiap. Apakah dia sadar dengan keberadaanku?

Alfa pun berbalik menatap ke tempatku bersembunyi. “Aku tahu, kau di sana Laura,” celetuknya.

Sial. Kenapa aku ketahuan lagi. Terpaksa aku keluar sambil menggaruk alis. Berpura-pura jika tidak memperhatikannya.

“Ternyata itu kau, apa kau membawa kucing ke sekolah?” tanyaku. Semoga aktingku tampak natural.

Alfa masih saja menatapku lamat. “Bukannya kamu sejak tadi mengikutiku,” bebernya.

Sepertinya aku memang selalu ketahuan dengannya.  “Tidak! aku hanya melihat-lihat halaman sekolah,” elakku bersikukuh.

“Kau mau makan?” tawarnya menyodorkan kotak bekalnya. Mungkin melihat perubahan ekspresiku yang aneh langsung membuatnya merasa bersalah. “Maaf, ini kan bekasku,” sesalnya.

Aku pun langsung merebut kotak bekalnya. “Kau punya sendok yang lain?” tanyaku.

Alfa mengangguk lalu mengeluarkan sendok di dalam tasnya. Aku langsung meraihnya lalu membersihkannya dengan tisu.

“Kau tidak sungkan memakannya,” tanya Alfa ragu.

Aku tergelak pelan. “Tentu, yang penting tidak membuat perutku sakit,” balasku merasakan sesendok nasi goreng. Rasanya sama dengan yang kemarin.

“Apa kau suka?” tanyanya sibuk membereskan tulang ikan. Anak kucing itu sepertinya telah kenyang.

Aku spontan mengangguk. “Mau membawakannya lagi,” pintaku.

Alfa pun tersenyum tipis. “Tentu, tiap hari aku akan membuatnya untukmu,” ujarnya.

Sejenak aku berhenti mencerna. Sungguh senyumannya begitu cantik terlihat. Bahkan matanya ikut tersenyum menyerupai bulan sabit.

“Jika senyumanmu secantik itu, kenapa jarang tersenyum?” tanyaku mendadak tersipu.

Alfa langsung berekspresi datar. Terdapat kerutan di keningnya. “Sulit, tidak ada yang butuh senyumanku,” keluhnya.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang