17. Firasat buruk

954 174 40
                                    


"Laura!"

Aku langsung terkejut saat Cika mengguncang bahuku, kini aku kebingungan menatap sekitar. Ternyata beberapa siswa sudah meninggalkan kantin.

"Kau kenapa?" tanyanya dengan alis berkedut.

"Pasti kau memikirkan Alfa," tebak Yuna tersenyum tipis.

Aku sejenak menghela lalu memijat kepalaku yang terasa memberat. "Aku mau ke toilet dulu," ungkapku melirih.

"Aku akan menemanimu," sahut Cika beranjak.

Aku pun mengibaskan tangan. "Tidak perlu, cuma cuci muka saja," kataku.

Terlihat Cika cemberut. Ia pun kembali meminum jusnya.

Saat meninggalkan toilet , langkahku langsung terhenti menyadari seseorang berdiri di balik tembok. Melihat kedatanganku, ia langsung mendekat.

Aku mencebik ke arahnya, melempar pandangan ke segala arah. Ingin kurutuki keadaan karena hanya kami berdua di tempat ini.

"Laura," panggilnya begitu halus. Jika kemarin aku suka suaranya, tapi sekarang mendengarnya membuat telingaku gatal.

"Cukup Aksa! jangan mengangguku lagi," decitku menatapnya tajam.

Aksa semakin mengikis jarak, ia berniat menggapai tanganku namun aku langsung menghempaskan tangannya.

"Kenapa sejak kemarin kau menghindariku, Laura," ujarnya mengeluh.

Aku langsung tergelak sekilas. "Seharusnya aku bertanya, kau ke mana saat aku menunggumu?" Sejenak aku mengambil napas gusar. "Kau bersama Sahra di pesta ulang tahunnya!" gertakku.

"Tidak seperti itu, kau salah paham," tampiknya.

"Bohong! kau pasti sengaja memanfaatkanku selama ini," tekanku tersulut emosi.

Terlihat Aksa kelabakan. Ia semakin gelisah. "Aku tulus mencintaimu Laura, tidak ada sedikit pun niatku mencelakaimu," tuturnya berusaha meyakinkanku.

"Lalu, kenapa kawanan geng motormu berniat melecehkanku?" tuntutku.

"Laura, aku tidak tahu maksudmu?" ujarnya kebingungan.

"Jangan pura-pura, ayahmu bahkan hampir membunuh Alfa," tegasku semakin tajam menatapnya.

Aksa pun mencekal tanganku, kini tatapannya berubah sendu. "Apa yang kau tahu lagi?" tanyanya sumbang.

"Semuanya, mulai dari Alfa yang menggantikan posisimu sebagai pembunuh ibu kalian," cibirku mendorong kuat tubuhnya hingga ia melepaskan genggamannya.


***


Aku sejenak menghela pelan merasakan hewan berbulu yang mengeluskan tubuhnya di betisku. Tersenyum tipis, aku berjongkok lalu mengelus kucing itu. Mendengarnya mengeong membuat suasana hatiku menjadi baik.

"Pasti kau mencari Alfa karena tidak memberikanmu makanan," ucapku semakin mengelus bulunya.

Aku pun membuka nasi kotak ke arahnya, pasti kucing ini kelaparan sejak kemarin. Buktinya ia langsung makan dengan lahap. Hingga sesuatu menarik perhatianku di balik semak, tempat kucing itu biasa keluar.

Aku mendekat, mengamati ke dalam semak. Dapat kulihat secarik kertas tergeletak terhalangi daun-daun kering. Karena penasaran, aku mengambilnya lalu membacanya.

"Tuhan! Izinkan aku memiliki Laura"

Mataku sontak mendelik membaca kalimat itu. Kuyakin, pasti Alfa yang menulisnya hanya melihat huruf-huruf itu yang begitu rapi.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang