6. Maskot Kelinci

1.3K 225 43
                                    

Melihat ponsel yang bergetar membuatku buru-buru mengangkatnya. Kutebak pasti itu Aksa. Satu jam yang lalu ia menyuruh untuk bersiap-siap. Katanya dia akan mengajakku keluar.

Sungguh aku mabuk kepayang mendengarnya, ini pertama kalinya diajak dengan lelaki selain Alex. Membayangkan seperti di film-film membuatku tak sabar.

Aku sudah selesai mengganti baju, kini beralih memasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Kuamati sejenak penampilan di cermin sambil tersenyum cerah. Semoga saja Aksa semakin menyukai riasanku yang masih saja natural. Cuma polesan sedikit lipstik berwarna cerah mengubah riasan sebelumnya.

Beruntung juga hari ini ibu ke supermarket. Karena jika ibu ada, pasti dia akan menghujaniku dengan rentetan pertanyaan agar belajar. Otakku juga lelah belajar terus.

Sebuah pesan kembali terkirim, aku pun mengecek ponsel. Bibirku langsung tersenyum karena Aksa sudah sampai.

Sebelum membukakannya pintu, sejenak aku mengambil napas. Pasti tampilannya semakin keren terlihat. Sebuah keberuntungan menjadi pacarnya.

"Laura!" panggilnya menyingkap pintu yang tidak terkunci. Ternyata ia tersadar jika aku di balik pintu saat mendengar suara langkah mendekat.

Mendesis pelan aku tersenyum menatapnya. Sumpah! aku bisa jantungan jika melihatnya terus tersenyum. Bagaikan gendang yang ditabu bertalu-talu.

Aksa merapikan rambutnya sejenak. "Kau sudah siap?" tanyanya.

"Iya," balasku pelan berusaha tidak memandangnya. Pipiku semakin memanas.

Aksa seenaknya langsung menggenggam tanganku erat, tingkahnya seperti seorang ayah yang menuntun anak gadisnya berjalan.

"Kau tidak bawa motor?" kataku karena tidak melihat jejak motor Aksa di halaman.

Aksa tersenyum tipis lalu menarikku lembut ke luar pekarangan rumah.

"Aku tidak mau membahayakanmu, sekarang aku menghantarmu pakai mobil," katanya menggayungkan kunci mobil ke arahku.

"Mobilmu cantik," pujiku pada mobilnya. Persis dengan mobilku, hanya saja ini berwarna biru.

"Kau tahu, kau orang pertama yang masuk ke mobilku," katanya menyingkap pintu mobil untukku.

Aku bergeming. "Masa, aku tidak percaya," jawabku tersenyum meledek.

"Kau harus percaya karena aku tidak akan membohongimu," decitnya muram saat duduk di kursi kemudi.

"Baiklah, aku percaya pada pacarku," ulasku mencolek lesung pipinya.

Ia pun langsung menahan tanganku, otomatis aku menggulung senyum. Apa ia tidak suka dengan kelakuanku.

"Aku suka tanganmu," katanya kembali mengulas senyum.

Mataku membelalak saat dia mencium telapak tanganku dengan lembut. Seolah aku tidak kuat bernapas. Aksa adalah lelaki yang sangat romantis.

"Kita jalan sekarang," kataku untuk membuyarkan sensasi aneh di perut.

"Padahal aku ingin lama-lama menatapmu," keluhnya cemberut. Ia pun menghidupkan mesin mobil.

Hampir setengah jam, Aksa belum menghentikan mobilnya, sepertinya kami baru saja melewati jalan yang sama. Usai melihat sekeliling, aku menggeser netra untuk menatapnya yang fokus ke depan.

"Aksa! Kita ke mana?" tanyaku melihat kanan kiri. "Sepertinya kita melewati jalan ini sejak tadi?"

"Tidak masalah jika kita berkeliling sebentar," ujarnya menaikkan satu alis.

Aku mengangguk patut. "Di mana kau akan membawaku," tandasku menyandar di kursi mobil.

Hingga Aksa membelokkan mobilnya memasuki sebuah gang, ternyata jalan ini penghubung dengan bundaran kota. Setelah melewati bundaran lalu mengambil jalur kiri yang terhubung dengan alun-alun.

Burned Wound(Diterbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang