24

97 17 1
                                    

Angin musim dingin akhirnya berhembus di kota itu. Udara dingin itu tidak memperbaik suasana hari Juyeon. Ia duduk menghadap pemandangan kota yang biasanya menenangkan perasaannya, tetapi kali ini ternyata tidak berhasil.

Hatinya bagaikan kepingan puzzle yang tidak beraturan. Ah, tidak. Salju yang turun menutupi jalan walaupun sudah berkali-kali dibersihkan lebih tepat untuk mendeskripsikannya. Begitulah pikirannya sekarang.

Hyunjae bilang ia ingin berpikir sebentar, ia ingin memastikan pikirannya sebelum bertemu kembali. Juyeon berusaha menghargai itu. Ya, memang faktanya sampai sekarang ia menghargai itu, tapi terkadang ia ingin menarik Hyunjae paksa di depan semua orang, menciumnya, memeluknya, agar semua tau bahwa yang dirinya inginkan hanya Hyunjae. Namun, terkadang ia juga ingin berlutut di depan Hyunjae, memohon kepadanya untuk jangan pernah meninggalkannya.

Ia tau seharusnya ia tidak seperti ini. Ini sangat kekanak-kanakan bukan? Siapa sangka ia bertingkah seperti anak SMA yang baru saja merasakan cinta monyet. Namun, selain hatinya, tubuhnya juga tidak bisa diatur. Sepertinya seluruh tubuhnya tidak berusaha memperbaik keadaan. Disaat-saat "patah hati" ini, bisa-bisanya ia sakit. Lebih konyolnya lagi, ia demam.

Ia tidak pergi kerja hari ini. Padahal sang sekretaris sudah memohonnya untuk datang karena ada rapat penting dengan klien. Namun, Juyeon menyuruhnya untuk mengganti jadwal karena ia sakit. Bisa apa Aeri untuk memaksa atasannya yang keras kepala itu.

Di sisi lain, Hyunjae berdiri di hadapan Sangyeon, Changmin, dan Aeri. Ia terus menundukkan kepalanya, tidak tau harus melihat kemana selain melihat lantai berwarna abu-abu di ruangan Sangyeon.

"Hyunjae, bisakah aku minta tolong? Ju—"

Sangyeon mendesis, ia menatap tajam Aeri, mengisyaratkannya untuk diam. Sekretaris Juyeon ini memang tidak bisa basa-basi.

"Hyunjae, kamu tau kalau Juyeon sakitkan?" tanya Sangyeon dengan nada halus.

Mata Hyunjae kini menatap Sangyeon dengan cemas. Melihat tatapan itu Sangyeon tersenyum seakan tau kalau Hyunjae cemas dengan keadaan kekasihnya, "Apa kau mau menjengguknya? Sekalian Aeri ingin meminta tolong" ucapnya halus.

Sangyeon melirik Aeri yang tidak kunjung berbicara. Perempuan itu sedang memandangi Hyunjae. Sungguh, perempuan ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Terkadang Sangyeon sampai bingung bagaimana bisa Juyeon mempertahankannya. Akhirnya ia menyenggol kaki kanan Aeri yang menyadarkannya dari lamunan.

"Ah! Begini, sore ini ada rapat dengan klien. Aku sudah bilang kalau Pak Juyeon sedang sakit dan ingin mengatur ulang rapat. Tapi klien ini tidak mau. Ia bersikeras untuk bertemu"

Aeri menjelaskan masalahnya, bahkan ia mengeluarkan keluh kesahnya tentang bagaimana kinerja atasannya itu menurun. Sungguh. Sangyeon ingin menutup mulut perempuan itu.

🎈🎈🎈

Intinya mereka ingin meminta Hyunjae untuk datang ke rumah Juyeon dan memintanya untuk menghadiri rapat. Karena mereka semua tau, Juyeon orang yang sangat kompeten. Namun, siapa sangka ternyata hal seperti patah hati bisa membuatnya jatuh sakit seperti ini.

Jadi, di sinilah Hyunjae berdiri. Di depan pintu Juyeon. Ia sangat ingin menolak. Namun, ia tidak mau mengecewakan Aeri dan Sangyeon yang sudah repot-repot memohon padanya.

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan baginya. Ia memasukan kata sandi dan masuk ke dalam rumah itu. Di depan kamar Juyeon, ia sangat ragu untuk membuka pintu. Seakan tangannya ditahan oleh sesuatu. Ia menghela nafas dan memberanikan diri untuk membuka pintu. Ia mendapati Juyeon terbaring di kasurnya. Matanya menatap Hyunjae dengan lembut.

untold ; jujaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang