Part 1: Mae [Revised]

19.9K 467 13
                                    

Revised version.

*****

Maesaroh Sartika, atau yang akrab dipanggil Mae ini kalau di desanya di Magelang sana dikenal sebagai anak yang nakal. Gadis yang selalu berambut hitam panjang dan lurus ini, sejak SD hanya tinggal dengan kakek neneknya, serta seorang kakak laki-laki. Kedua orang tua mereka merantau ke Taiwan sejak Mae masih bayi untuk mengais rejeki yang lebih banyak. Tinggal berdua dengan kakek nenek yang sudah renta setelah kakak laki-lakinya juga mengikuti jejak orang tuanya untuk merantau, membuat pergaulan Mae terlalu bebas jika dibandingkan dengan anak-anak lain di desanya. Keadaan tubuh yang sudah tak kuat membuat kakek neneknya tidak bisa selalu memantau Mae.

Kakak kandungnya lebih tua lima tahun, sehingga saat Mae masih duduk di bangku SMP, kakaknya memilih kuliah di luar kota dan sejak saat itu tidak pernah menetap lagi di desanya meski sudah lulus kuliah. Ia hanya kembali sesekali saja saat hari raya.

Tanpa adanya sosok orang dewasa yang bisa mengawasi Mae, gadis yang memang berkulit putih dan cantik ini menjadi susah sekali diatur kehidupannya. Sejak SMA, Mae sudah mempunyai lubang di empat tindik kuping kiri dan tiga tindik di kuping kanan. Tak hanya itu saja, ia juga menambah satu tindik di pusarnya saat ia mulai kuliah. Rokok sudah sering ia hisap dan juga alkohol, meskipun bukan pecandu, sudah pernah ia coba meskipun tidak terlalu menjadi favoritnya. Sampai selesai kuliah tidak banyak perubahan yang berbeda dari kehidupannya yang bebas.

Dari segala pengaruh buruk dan keliaran hidupnya, ternyata ada satu yang berbeda. Yaitu selama menjadi mahasiswi, ia mulai mempelajari ilmu bela diri dari salah satu seniornya yang seorang preman dan paling sering suka ribut dan bertengkar dengan sesama mahasiswa lain. Tapi karena mereka berdua berasal dari daerah yang sama, Mae mendapat perlakuan istimewa dan selalu dijaga olehnya dan teman-temannya yang lain.

Tetangga-tetangganya di desa selalu mencibir Maesaroh karena dianggap sok kekotaan dan sombong. Penampilannya yang memang tipikal anak nakal membuatnya dijauhi oleh orang-orang desa. Mereka bahkan sempat menyelentingkan berita bahwa Mae juga suka main dengan banyak laki-laki karena dandanannya yang dinilai liar itu.

Meskipun begitu Mae tetaplah Mae. Ia sama sekali tidak peduli asalkan kakek neneknya tetap menyayanginya. Namun, berita duka datang saat ia mulai menyusun skripsi di semester enam. Kakeknya meninggal dan neneknya jatuh sakit karena terlalu syok.

Kepergian kakeknya benar-benar membuat Mae mengerjapkan kehidupannya sejenak dan membuatnya terpaksa harus berubah dan mengambil sikap tegas pada dirinya sendiri. Melihat sosok neneknya yang tua renta tanpa adanya seorang suami lagi di sisinya membuat Mae memutuskan untuk segera merampungkan kuliahnya dan mengambil semua tanggung jawab sebagai seorang cucu kepada neneknya dan menjadi tulang punggung keluarga.

Kakak laki-lakinya yang saat itu sudah bekerja di luar Jawa, hanya bisa mengirimkan uang per bulan untuk membantu meringankan bebannya. Ditambah, meskipun kedua orang tuanya juga tidak bisa pulang, mereka juga tidak berhenti mengirimkan uang, sehingga jika ditilik dari segi finansial, Mae dan neneknya sebenarnya sama sekali tidak ada kekurangan meski tidak pernah kelebihan. Cukup. Hanya saja mereka tinggal berdua saja sekarang. Jika neneknya juga pergi, maka Mae akan sebatang kara.

"Mbah Putri, kalau Mae udah dapat kerja di Jakarta, Mbah ikut ya?" Ucapnya memohon saat itu yang disambut dengan pelukan dari sang nenek. Memang mau kemana lagi kalau satu-satunya cucu yang sudah dianggap pelita hidupnya sekarang juga akan pergi. Kalaupun si nenek menolak, Mae sudah menyiapkan sejuta alasan lain untuk membuat neneknya mau ikutan pindah.

Hanya satu tahun setelah itu Mae berhasil lulus dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan di ibu kota. Ia bersyukur karena diterima dan sesuai janjinya pada neneknya, Mae memboyong sang nenek ke Jakarta. Kakaknya mengkontrakkan sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Ia membayarkan setahun awal dan akan Mae teruskan sendiri dengan gajinya nanti. Dengan begitu Mae bisa menggunakan gajinya untuk kebutuhannya dan neneknya dulu di tahun pertama. Tidak perlu pusing dengan bayar kontrakan. Sedangkan rumah di Magelang akan ia sewakan sehingga bisa menjadi pemasukan pasif untuk neneknya.

Sejak menjejakkan kakinya di ibukota, Mae berjanji akan meninggalkan kehidupannya yang lalu. Sudah ia buang kebiasaan merokoknya, tidak lagi minum-minum. Namun ada satu hal yang masih belum bisa ia hilangkan, yaitu kebiasaan nongkrong di club bersama teman-temannya yang lain. Tentu saja sebagai default driver yang bertugas menyupiri teman-temannya yang sudah teler ke rumah masing-masing. Teman-teman yang dimaksud di sini adalah rekan-rekan kerja di kantornya. Mae adalah orang baru di Jakarta sehingga orang-orang yang sering ditemuinya hanyalah orang-orang kantor. Ada beberapa teman jaman kuliahnya yang juga pindah ke Jakarta, tapi tidak pernah Mae hiraukan.

Mae pribadi yang sangat supel dan mudah membuka diri dengan lingkungan baru. Jadi tak butuh waktu lama baginya untuk bergabung dengan sirkel para sekretaris dan PA (Personal Assistant) para direktur di perusahaannya. Selain itu Mae juga sangat akrab dengan para office girls dan office boys.

******

"Pagi, Mae."

"Pagi, Pak Bara. Jangan lupa hari ini ada rapat sama Pak Bobby dan tim, ya." Ujar Mae datar yang hanya dibalas dengan acungan jempol oleh atasannya itu.

Dari layar laptop, Mae melirik sosok atasannya dari belakang. Dalam hati Mae hanya berharap semoga hari ini berjalan dengan lancar. Pekerjaannya, terutama. Jangan sampai bosnya ini petakilan lagi.

Semoga hari ini normal, Ya Tuhan. Amiin.

"Maeee..!"

Set dah, barusan juga didoain biar lancar! Mae menggerutu sambil ogah-ogahan berdiri dari bilik kerjanya dan masuk ke dalam ruangan atasannya.

"Apa, Pak?" Tanya gadis itu dengan ekspresi wajah dan suara yang datar seakan tidak peduli.

"Sini deh, Mae. Saya mau cerita. Saya mau dijodohin masa? Ceweknya siapa tahu nggak?" Ujar Bara dengan sumringah. Wajah suntuk sekretarisnya sama sekali tidak membuatnya urung untuk mengajaknya bercanda di pagi hari.

Ya nggak tahu lah!! Mae berusaha setengah mati untuk tidak memutar bola mata di depan Bara dan menjawab, "Saya nggak tahu lah, Pak!" dengan suara yang masih datar.

Melihat wajah sekretarisnya yang tertekuk empat kali, Bara malah semakin ingin menggodanya dan merasa senang karena sebentar lagi berhasil membuat Mae semakin sewot. "Cewek yang mau dijodohkan sama saya itu cantik banget, Mae. Tapi saya nggak tahu namanya soalnya pas mau disebutin saya kebangun duluan. Ternyata mimpi!" Lalu Bara tertawa terbahak-bahak sambil menggebrak-gebrak meja.

Ya Allah, seenggaknya tolong kurangin dosa saya kalau tiap hari harus ketemu yang beginian.

To be continue...

A/N Bisa juga dibaca di Karya Karsa ya untuk yang gratisan ini.

Jangan lupa vote dan komen yah 💛

Bara & Mae [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang