Sehari sebelum kebarangkatan ke Bali, Mae kembali memeriksa barang bawaannya untuk empat hari tiga malam. Baju yang di akhir minggu kemarin ia beli dengan menggunakan kartu sakti atasannya sudah terlipat rapi di dalam koper sedangnya. Sepatu dan tas juga sudah ia masukkan. Ia lebih banyak membawa baju santai karena Mae pikir akan lebih banyak bersantai sampai pesta berlangsung.
Malam ini Mae harus bisa tidur lebih awal karena subuh nanti dia berencana akan melulur dan membersihkan seluruh badannya sebelum pergi. Malam ini ia sudah selesai me-waxing seluruh bulu yang ada di tubuhnya kecuali yang ada di kepalanya. Ia rapikan alis, bulu-bulu halus di wajahnya dan sedikit kumis di bawah hidungnya.
Kemudian dari Bara juga Mae tahu bahwa konsep pernikahan mantan istrinya nanti itu adalah outdoor party mirip dengan garden party yang menurutnya akan terkesan sangat alami. Jadi riasan wajah tidak perlu terlalu tebal karena Mae tidak suka bermake up tebal.
Setelah mengecek kembali satu per satu barang bawaan, sepertinya Mae sudah siap. Besok setelah sarapan hanya tinggal menunggu Bara menjemputnya.
Kepada neneknya tentu saja Mae berkata jujur bahwa ia akan mendampingi atasannya untuk datang ke pesta pernikahan mantan istrinya. Mae tidak terbiasa bohong pada neneknya, hanya saja ia tidak mungkin mengatakan bagaimana hubungannya dengan atasannya sebenarnya kenapa dirinya lah yang dimintakan untuk mendampingi. Mana mungkin ia menjelaskan ini dan itu, lalu apa saja yang sudah mereka lakukan berdua di balik pintu ruang kerja seorang direktur, kan?
"Uwes lengkap, Nduk? Ojo nganti ono seng kelalen. Dititeni tenan," Ucap neneknya saat melihat cucunya sedang menutup koper yang akan dibawa besok.
"Sampun, Mbah," Jawab Mae kemudian.
***
"Mae, saya sudah di depan rumah kamu,"
"Cepet banget, Pak! Bentar saya lagi sarapan. Bapak sudah makan?"
"Sudah. Tapi saya mau pamitan dulu sama nenek kamu,"
"Oh ya, kalau begitu ditutup dulu, Pak!"
Mae meletakkan ponselnya di atas meja makan sebelum beranjak dari kursinya. Neneknya melihat gerakan cucunya itu dengan heran kok tumben sejak pagi tadi lincah sekali. Biasanya harus diciprati air dulu supaya melek matanya.
Tidak lama kemudian Mae kembali ke ruang makan dan sang nenek melihat sesosok pria berbadan tinggi tegap di belakang cucunya. Sempat terpikir apakah ini calon yang dibawa oleh Mae?
"Mbah, niki Pak Bara. Bos e kulo seng ngejak menyang Bali." Ujar Mae sambil menunjuk Bara kepada neneknya.
"Oalah, tak kiro mau calonmu, Nduk cah ayu. Wes, kene maem sek. Ditawari to, Nduk. Madhang sek ben ora luwe wetenge!"
*Oalah, aku kira tadi itu calonmu, Nduk. Sudah, sini makan dulu. Ditawarin dong, Nduk. Makan dulu biar nanti nggak lapar!
"Mboten sah, Mbah. Kulo sampun nedho teng ndalem kolo wau. Matur nuwun,"
*Tidak usah, Mbah. Saya sudah makan tadi di rumah. Terima kasih.
Mae cukup terkejut mendengar Bara berbicara dengan bahasa jawa dengan neneknya. Ini pertama kalinya dan terdengar aneh. Hampir saja Mae menyemburkan tawa tapi berhasil ia tahan.
Bara sadar jika dirinya mendapat olokan dari Mae. Ditatapnya gadis itu dengan sinis. Tapi sepertinya yang disinisi sama sekali tidak peduli.
Setelah acara pamitan selesai dan Mae mengangkut barang bawaannya yang bisa dibilang sedikit itu ke dalam mobil Bara, keduanya kembali menghampiri sang nenek lalu kedua mencium tangan renta tersebut.
"Barang bawaan kamu benar hanya itu saja?" Tanya Bara sambil melirik ke kaca spion depan. Dari sana terlihat koper sedang yang tidak terlalu besar milik Mae.
"Emang butuh berapa baju sih Pak?" Jawab Mae sambil memainkan hapenya. Ia duduk di samping Bara yang tengah menyetir menuju bandara.
"Ya kan biasanya cewek itu barang bawaannya banyak. Apalagi kita mau ke Bali," Sahut Bara sambil kembali memfokuskan pandangan ke depan.
"Pestanya cuma Sabtu malam doang kan ya? Selain itu kan bisa nyantai. Ditambah nanti di Villa kan ada mesin cuci, ya baju yang kotor dicuci, dikeringin kan bisa dipakai lagi." Ucap Mae yang terdengar seperti sedang mengajarkan cara anak SD tata cara mengerjakan tugasnya.
Bara berdecak mendengar ucapan Mae. "Jangan bilang kamu cuma beli satu gaun saat kemarin saya pinjamkan kartu saya?"
Mae melirik Bara sebal. Bibirnya mengerucut sebelum menjawab iya.
"Aduh, Mae... Mae! Resepsi itu kan acara puncaknya. Sebelum resepsi itu ada pesta lajang, cocktail party, lalu akan ada after party juga nantinya."
"Ya mana saya tahu, Pak? Kan pesta nikahan yang selama ini saya hadiri itu ya cuma yang dateng, salaman, poto, makan terus pulang!" Mae merasa kesal karena seakan-akan dibodoh-bodohkan oleh Bara. Ya mana tahu kalau nikahan orang kaya itu seribet itu!
"Sudah, sudah. Jangan marah-marah,"
"Siapa yang marah?" Tambah Mae semakin ngegas.
"Nah itu kamu ngegas. Udah lah. Nanti di sana saya temani beli baju lagi." Ajak Bara dengan suara lembut. Mencoba untuk menenangkan Mae.
Kali ini Mae tidak menjawab. Gadis itu sudah terlanjur nggak mood. Daripada salah mending diam saja.
Menunggu tapi tidak ada jawaban dari orang yang duduk di sebelahnya, Bara hanya tersenyum. Ia memaklumi apa yang Mae maksud. Pria itu melepas tangan kirinya pada stir lalu ia jalin jemarinya di antara jemari tangan kanan Mae sebelum membawanya untuk dicium punggung tangannya. Lalu ia balik untuk balik untuk diciumi lagi satu-satu jemari gadis itu. Bara berusaha membuat Mae lebih rileks dan jinak.
Tidak lama kemudian dari ekor matanya Bara bisa melihat tarikan senyum dari bibir Mae. Meskipun tidak terlalu kentara tapi ada di sana.
Merasa bahwa Mae sudah tenang, Bara kembali menjulurkan tangannya untuk meremas payudara Mae. Hari ini sekretarisnya memakai dress berbahan ringan dengan lengan pendek berwarna biru muda bercorak dan dilengkapi dengan cardigan warna krem yang terlihat sangat manis dipakainya.
Tasnya juga hanya tas selempang kulit imitasi sederhana tapi terlihat sangat anggun saat dipakai oleh Mae.
"Ini di jalan, Pak!" Sergah Mae mencoba menyingkirkan tangan si mesum Bara dari dadanya. Tapi dengan cepat Bara sudah membuka beberapa kancing depan lalu merogoh ke dalam baju Mae dan langsung menemukan benda yang menjadi obsesinya akhir-akhir ini.
"Kacanya nggak bisa dilihat dari luar, Mae." Ujarnya santai seolah-olah dengan itu saja bisa membuat Mae memaklumi kelakuan anehnya.
"Aduh! Pak! Jangan dicubit kenceng gitu, dong!" Rengek Mae yang merasa sakit di ujung dadanya. Ia geplak tangan Bara yang sedang sibuk menggerayangi puting susunya.
"Maaf, soalnya gemes, Mae." Jawab Bara enteng sambil terkekeh.
Selesai di satu payudara kiri, tangannya pindah lagi ke payudara kanan. Begitu terus sampai hampir sampai ke bandara. Hanya dijeda saat Bara mau ganti persneling atau saat dirinya butuh dua tangan untuk menyetir.
To be continue...
Dress yang dipakai Mae
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara & Mae [COMPLETED]
RomanceMATURE STORY (21+) Not children area here!! Baca dengan kesadaran masing-masing ya Follow authornya juga jangan lupaaaaa Ngga ada jadwal tetap update 🙏🏻 Romansa 21+ Kehidupan kantor Bara Hadi Wajendra dan Maesaroh, sekretarisnya, menjadi lebih ru...