Sastra.

156 59 40
                                    

Tangan lelaki dewasa itu mengayun ayun layaknya anak kecil di depan uminya, tak heran lagi jika ia kerap kali bertegur dengan pikiran jahil uminya yang berdesas desis akhir akhir ini.

"Namanya Laylatul Denasastra Khadijah," Ucap lelaki tegap tinggi dengan perawakan tampak luar biasa, lelaki berumur 25 tahun itu tersenyum menyebutkan nama tersebut pada ibunya, dia jatuh cinta pada gadis tersebut. Lelaki yang berada di kamar uminya itu hanya tersenyum tak jelas sambil terus manyun manyun manja layaknya anak kecil yang meminta permen genggaman pada ibunya.

Fahiza hanya tersenyum mendengar nama itu, nama itu justru sangat familiar baginya. Sastra adalah gadis yang kerap kali ia lihat berada di kompleks, gadis yang cenderung lugu dan sopan itu ternyata disukai oleh putra sulungnya selama ini.

"Umi tau, " Ucap Fahiza menjelaskan pada anak sulungnya ini.

Lelaki bernama Jiro Albasy Akbar itu menggaruk tumitnya yang tak gatal, lelaki keturunan Arabian Korea itu menyipitkan matanya tersenyum puas. Lalu lelaki itu menampilkan bola mata gemas agar uminya semakin mendukungnya.

"Di tempat kuliah kamu kan banyak cewek kayak dia juga Al?, " Kini Fahiza tersenyum, anaknya ini lulusan sarjana Al Azhar di Cairo, yang notabenya mahasiswi sana juga tidak lebih buruk dan rata rata hafal 30 juz.

"Boleh Albas mengkhitbah dia umi?" tanya Albas pada Fahiza membuat Fahiza terdiam sejenak.

"Abi sudah tahu?" tanya Fahiza.

Sedangkan Albas lagi lagi merelakan senyum ikhlas dan puas lalu mengangguk kencang bak anak kecil yang meminta permen.

Fahiza tahu juga gadis yang sering di sebut Sastra itu gadis yang sopan dan baik, gadis dengan hijab menjulur panjang, rok panjang menutupi kaki walaupun belum mengenakkan cadar.

"Kemarin pagi Albas lihat dia" ucap Albas semangat.

"Terus?".

Albas semakin tersenyum kepada uminya yang duduk manis menatap kedua mata albas yang berbinar-binar tak karuan.

"MasyaAllah umi sepertinya dia benar benar baik, kemarin Albas lihat dia sedang bersedekah dengan ibu ibu tua di dekat pendopo" ucap Albas sambil memijit kaki uminya.

"Bicara dengan Abi, minta izin dengannya kita mengkhitbah Sastra esok ya nak" ucap umi pada Albas yang kali ini memeluk uminya semangat.

Rasanya jantung Albas berdebar kencang, apakah ini rasanya jatuh cinta dan berniat baik ingin beribadah menikah, bukan tentang bagaimana wajahnya namun bagaimana akhlak Sastra.

"Terimakasih umi".

"Loh mau lamar cewek, siapa?" Seloroh adek Albas , namanya Bima Akbar. Lelaki perawakan tinggi dengan badan yang tak terlalu besar, hidung mancung dan gigi ginsulnya, lelaki berumur 24 itu jujur saja memiliki sikap berlawanan dengan Albas, Albas yang terlalu pendiam dan lebih beretikat baik sedangkan Bima cenderung lebih sensitif, galak, dan gaul.

"Kepo banget, subhanAllah" ucap Albas pada adek satu satunya itu, ia tertawa dan berdiri berniat mencari keberadaan Akbar, ayahnya.

Umi menyentuh bahu Bima, Fahiza tersenyum.

"Abangmu mau menikahi seorang gadis yang Bila tahu betul siapa gadisnya"

Kalimat itu membuat Bima merasakan tanda tanya dalam benaknya, Bima mengerutkan keningnya, "Siapa umi?".

"Udah bahas nanti, ayo kita ke bawah menyusul abangmu".

Namun umi hanya tersenyum dan meninggalkan Bima lalu menyusul Albas, putra sulungnya. Wanita setengah baya itu berhembus pelan saat menyadari apa yang terjadi, dan apa?.

Ketika Allah MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang