"Maksud dari saya kesini adalah untuk mengantarkan putra saya yang bernama Jiro Albasy Akbar untuk mengkhitbah putri bapak, sekiranya niat baik ini dijunjung baik juga," ucap Akbar di depan kyai Faizi tepat di rumah Sastra, rumah cream mewah itu menjadi awal keseriusan Albas.
"Bagaimana Sastra?," tanya Faizi pada anaknya yang menunduk dari tadi, gadis itu merasakan detak jantung tak karuan sama hal nya dengan Albas. Lelaki itupun sama, tak kalah beda.
Tubuh lelaki itu rasanya bak diikat saat duduk saat ini, ia hanya berani menatap Fahiza penuh harap.
Sedangkan Bima, lelaki itu hanya menunduk lemah, rasanya ia ingin menangis saat menemani kakaknya untuk melamar gadis yang ia sukai dari dulu.
"Apakah nak Sastra berkenan dinikahi oleh Albas putra saya?," tanya Akbar kali ini langsung pada Sastra, kali ini Sastra mengangguk pelan.
"Iya Sastra mau".
Kalimat itu berhasil membuat Albas berhembus lega seperti semuanya kecuali Bima yang begitu kecewa, ia menatap wajah Sastra yang tertunduk malu, sepertinya ia mencintai Albas.
Sastra lalu menatap ke arah Bima, gadis itu tersenyum hangat namun beda hal nya dengan Bima, lelaki itu berwajah datar tak seperti biasanya. Sastra memunculkan gigi putihnya meringis bahagia menatap sahabatnya dan calon adik iparnya itu, namun lagi lagi Bima masih berwajah datar.
"Lalu kapan mau diselenggarakan pernikahannya?," tanya Faizi.
"Kalo bisa secepatnya," jawab Akbar dengan senyum lebarnya. Sedangkan yang lain tertawa meriuhkan suasana, kecuali Bima lagi lagi mendapati wajah cantik Sastra yang tertawa dalam penderitaannya.
"Tuh Bima, Sastra aja udah pengen nikah, masak kamu belum, katanya sahabat," ucap Viki, ibunda sang Sastra. Mendengar hal itu membuat Albas kaget ternyata selama ini Bima dan Sastra mempunyai hubungan persahabatan, mengapa Bima tidak bercerita padanya.
Sastra melihat wajah Bima yang tak biasa dan tak menjawab pertanyaan ibu nya, tumben saja. Wajah Bima pucat menatap tepat ke arah wajah Sastra dengan mimik wajah yang tak bisa di jelaskan.
"Bima, ada apa?," tanya Sastra lembut pada sahabatnya itu. Tak ada jawaban, lelaki itu justru menundukkan kepala dan sibuk dengan fikirannya yang kacau.
"Mungkin Bima kecapean, kemarin main sama temen temennya sampe larut malam," ucap Fahiza asal ceplas ceplos mengumbar hal memalukan itu pada keluarga Sastra.
Kali ini Bima hanya mendengarkan percakapan antara keluarganya dengan keluarga Sastra, biasanya ia selalu menyukai percakapan apapun dari mereka tapi hari ini ia meralat itu semua, ia membenci hal itu. Dahulu ia dikenal sebagai lelaki yang tidak baik lalu mengenal Sastra, gadis itulah yang mengajari Bima banyak hal dan merubahnya menjadi pria baik seperti sekarang namun hatinya hancur ternyata semua itu tidak lebih buruk seperti membunuh tanpa menyentuh.
Semua telah usai, Albas dan keluarganya pulang. Karena rumah yang terlampau dekat, keluarga tersebut hanya merelakan beberapa langkah menuju rumah dan memasuki pintu kembali, Albas tak henti hentinya tersenyum riang dengan sekali beristighfar takutnya khilaf, lelaki itu memasuki kamarnya juga tak beda dengan Akbar, sedangkan Bima memilih duduk tenang di sofa ruang tengah dengan menatap ke televisi yang tidak dinyalakan. Melihat hal itu Fahiza buru buru mendekatinya.
Ia menepuk pundak anak bungsunya itu, "Tau nggak kenapa umi bolehin Abang kamu sama Sastra?".
Pertanyaan itu membuat Bima terdiam dan beberapa detik kemudian hanya menggeleng.
"Karena umi tahu perihal kalian".
Lalu umi mulai duduk di samping Bima, masih setia mengusap pundak anak lelakinya itu, "Sastra kalo berjodoh dengan Albas, sikapnya cocok sayang".
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Allah Mencintaimu
General FictionMenikahlah namun sebelum menikah berilmulah. Lalu terus terang ku bimbing lagi engkau menuju Jannah dan engkau kokohkan imanku menjadi imammu. Bima seorang lelaki yang sudah lama bingung dengan rasa cintanya sendiri setelah kehilangan cinta pertaman...