06. My mom met Kai

4 2 0
                                    

Hari ini hari libur. Tentu ada bermacam hal yang bisa dilakukan di hari istimewa seperti ini. Jalan-jalan bersama teman, pergi ke tempat rekreasi, atau menghabiskan waktu sendiri. Dan untuk manusia pemalas sepertiku, aku bisa bermalas-malasan di kasur tanpa harus bangun pagi.

Tidak seperti pagi minggu biasanya, aku malah terbangun lebih awal dan mendapati kalau tirai jendelaku terkuak lebar. Matahari di luar sudah naik, aku menutup mata karena kesilauan. Rupanya setelah bermain game sampai larut saat kemarin, aku malah lupa untuk menutupnya.

Beranjak dari kasur dengan malas, aku berencana untuk kembali ke kasur setelah ini. Tapi itu hanya niatku, nyatanya aku malah kelaparan.

Yah, kemarin malam aku hanya sendirian di rumah ini. Ibuku tidak pulang, serta ayahku yang minggat itu pun juga tidak menunjukkan batang hidungnya.

Aku hanya makan mie yang kubeli lewat pesanan online, terlihat ingin seperti bocah berandal yang maniak game dan mengabaikan makan enak. Aku hanya ingin mencoba kenikmatan seperti itu setidaknya sekali dalam hidupku.

Turun ke dapur, aku mendapati seisi kulkas sudah penuh dengan makanan dan seisinya. Kemana hilangnya botol-botol bir aneh itu? Apa ibuku sudah tobat? Persetan dengan itu semua, aku mengambil susu dan sepotong roti dari lemari.

Tok tok

Siapa yang kembali? Ibuku? Ayahku? Atau rentenir yang waktu itu?

Aku berjaga-jaga dengan membawa pemukul bisbol dari belakang, kalau itu orang aneh setidaknya aku sudah berusaha untuk melindungi diriku.

"Haha, hai!" Aku terkejut saat melihat Melo yang datang, dia tertawa dengan ekspresi datarnya. Melirik kanan dan kiri, Melo segera melambaikan tangannya pada seseorang yang bersembunyi di arah kiri sana. Dengan pelan, aku menaruh pemukul bisbol di samping pintu.

"Hai, Ery!"

Astaga itu Hueningkai! Bagaimana ini? Aku bahkan belum mandi dan menyisir rambutku.

"Maaf datang mendadak." Kata Hueningkai tahu diri. Aku bersyukur dia peka akan hal itu, tetapi juga mungkin karena melihat penampilanku yang berantakan. Ewh.

"Masuklah!" Aku membukakan pintu rumahku untuk mereka berdua.

"Aku mau ke kamarku dulu, tunggu sebentar ya!" Aku meninggalkan mereka berdua dan bergegas ke kamarku.

Dengan gerakan cepat, aku segera mengambil baju ganti dan berlari ke kamar mandi. Setidaknya harus mencuci muka kalau tidak sempat menggosok gigi.

Usai dalam hitungan tidak lebih dari sepuluh menit, aku segera turun dan melihat ke arah Melo dan Hueningkai yang sedang berdiam canggung.

"Hei, kupikir kalian sudah akrab!" Aku menertawai kecanggungan mereka berdua, Hueningkai terkekeh mendengar ucapanku.

"Ngomong-ngomong ada maksud apa? Sepagi ini sudah bertamu ke rumahku?"

"Sepagi ini? Maksudmu jam sebelas siang?" Kali ini Melo melawanku. Kai berdiam diri saat melihat perseteruan kecil kami.

"Ya.. ini kan hari libur."

"Kami hanya ingin mengunjungimu." Ucap Hueningkai setelah beberapa saat. Aku tertawa, memangnya aku sedang sakit? Mungkin ini reaksi aneh karena seumur hidupku, aku belum pernah mendapatkan perhatian seperti ini dari seorang teman.

"Bukan aku, hanya dia." Tegas Melo.

"Ya, dia minta aku untuk menemaninya agar bisa ke rumahmu. Tepatnya untuk bertemu denganmu."

Aku melirik Hueningkai, lelaki itu malah menunduk dan diam. Dari gerak-geriknya dia kelihatan salah tingkah? Ah tidak tau juga.

"Kau merindukanku ya?" Aku menggoda Hueningkai, dia menggeleng cepat.

"Ngomong-ngomong kalau kalian mau makan sesuatu, ambil saja di kulkas atau lemari sebelah sana!" Aku menunjuk lemari tempat rotiku disimpan, Hueningkai hanya mengangguk paham.

"Kenapa tidak kau ambilkan?" Tanya Melo keheranan. Ah, berteman dengan manusia seperti dia perlu kesabaran juga ternyata.

"Apa artinya aku boleh ambil banyak?" Melo mencoba melawak, aku tertawa sedikit.

"Bukan begitu juga." Sahutku.

"Tapi terserahlah, asal jangan menghabiskan stok makananku saja."

Melo dan Hueningkai malah tertawa.

Melo beranjak, dia mencari-cari sesuatu. Saat ini aku dan Hueningkai sedang berada di kursi makan. Lantas aku bercerita gila tentang gelas yang kuberi nama pada Hueningkai. Tidak seperti yang lain, dia malah mengamatiku dengan raut wajah serius. Tampaknya dia mendengarkan satu persatu kata yang keluar dari mulutku.

"Bagaimana dengan Huery?"

"Oh boneka itu?"

Sial, aku malu. Bagaimana ya menjelaskannya? Boneka itu hampir kupeluk setiap malam dan aku menceritakan segalanya tentang masalah ataupun keinginanku. Tidak bohong jika aku membayangkan kalau itu Hueningkai.

"Hei Ery!" Panggilan Melo mengagetkan kami berdua, segera aku melirik ke arah Melo yang memegang telur ayam.

"Boleh aku goreng?" Tanyanya. Aku mengangguk saja.

"Kau pasti belum makan kan?" Melo bertanya lagi, meski agak terkejut tapi dengan cepat aku mengangguk.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Ya, kau saja baru bangun tidur. Bagaimana mungkin untuk sudah makan?" Tambah Melo lagi. Aku terkekeh karena perkataan dia sungguh benar adanya.

"Ahahaha, Ery! Lain kali apakah aku perlu meneleponmu agar kau lebih memperhatikan makanmu?" Hueningkai bertanya, aku langsung menggeleng.

"Ini hanya untuk hari libur, sisanya aku makan sesuai waktunya."

Seakan larut dengan semua itu, aku hampir tidak menyadari jika ibu sudah datang dan menatap kami bertiga.

"Oh Ery? Sudahkah bangun?" Ibu meletakkan sepatunya dan bertanya padaku.

"Oh lihat ini, hai Melo! Lama tidak bertemu denganmu."

"Dan kamu... siapa namamu?" Berikutnya ia melirik ke Hueningkai dengan penasaran.



































































































tlong jgn berpikir ibunya Ery tante girang yh,,
awas😡🤏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

17 Sheet.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang